Merek Gandeng Vlogger Itu Gampang-gampang Susah

marketeers article
63000196 female vlogger recording video at home. close-up of camera screen with young blogger face picture. fashion, beauty, technology concept

Fenomena video blog (vlog) dan para vlogger yang terus berkembang menarik minat perusahaan-perusahaan berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Justru, sudah sepantasnya bila perusahaan TIK menggunakan vlog lantaran berada di habitat yang sama. Di saat bersamaan, perkembangan TIK telah mendorong konsumen menjadi semakin berorientasi pada segala hal yang berbasis teknologi.

Terutama di kalangan konsumen muda yang mayoritas sudah mulai tidak loyal pada satu merek dan kurang mengindahkan lagi apa yang ditampilkan iklan tradisional. Konsumen muda cenderung menuntut adanya konten yang bisa dinikmati dan yang mewakili mereka. Dan, vlog yang dibuat para vlogger inilah salah satu solusinya.

“Misalnya kami menampilkan mengenai kekuatan jaringan. Sepertinya konsumen tidak akan tertarik. Harus ada ceritanya. Lewat cerita seorang vlogger, sebuah produk bisa tersampaikan pesan dan value-nya secara halus, tanpa hardselling,” ujar General Manager Media PT XL Axiata Tbk Reza Zahid Mirza.

Lalu, apa sebenarnya parameter dalam memilih vlogger? Salah satu alasan utama merek adalah jumlah followers atau subscribers yang banyak. Termasuk juga kepopuleran konten-konten mereka lewat jumlah views. Kemudian, merek juga mempertimbangkan engagement vlogger dengan audiens mereka.

Pada dasarnya, berkolaborasi dengan vlogger memang tidak ubahnya kampanye di media sosial. Perbedaan hanya pada medianya saja. Bila konten yang dihasilkan relevan dan merefleksikan kehidupan masyarakat zaman sekarang, maka pasti akan diterima.

“Di XL Axiata, kami punya panduan brand imagery. Jadi, kami cari vlogger yang sesuai dengan kriteria dalam panduan itu, seperti target pasar sekitar 25 sampai 40 tahun ke atas. Maka kami mencari seseorang dengan karakter seperti itu, seperti Benakribo,” ujar Social Media Strategist XL AxiataRahmat Budiman.

Perusahaan teknologi lain seperti LINE juga sudah tidak asing. Alasannya, konsumen mereka yang berusia muda sudah menjadikan video sebagai konsumsi sehari-hari. Dengan tren vlogger lewat platform YouTube, mereka bisa menyampaikan pesan dalam kampanye LINE dengan relevan dan sesuai target audiens.

Namun, yang patut diingat adalah bahwa para vlogger ini tidak ditujukan untuk menghasilkan penjualan. Seperti yang diutarakan oleh Senior Manager LINE Indonesia Yuanita Agata, peran objektif mereka adalah meningkatkan awareness dan engagement pada merek.

“Kami pernah punya kampanye untuk meningkatkan awareness terhadap program reedem kami dengan Alfamart. Artinya, kalau orang tahu kampanye tersebut lewat vlogger kami, dia bisa menukar voucher di LINE dengan produk di Alfamart. Tapi, itu tidak bisa diukur bahwa sebuah penukaran berasal dari kampanye vlogger. Karena kanal kampanye tidak hanya dari mereka saja,” ujar Yuanita.

Perlakuan Beda

Kerjasama dengan vlogger terbilang gampang-gampang susah. Sebab, status figur publik sudah tersemat dalam diri mereka. Sekalinya bekerjasama, ada idealisme yang tidak bisa dihindarkan, sehingga harus ada kompromi dengan merek. Mengelola bintang digital dan bintang iklan televisi sangatlah berbeda.

Ketika mengontrak bintang televisi, sebuah merek bisa memegang kendali dari produksi sampai hasil akhir. Sedangkan saat bekerjasama dengan vlogger, ide-ide konten berasal dari para vlogger. Merek biasanya hanya memberikan beberapa arahan, seperti key message, flow video, serta angle. Hal ini lantaran konten di YouTube tidak bisa disamakan dengan televisi.

Di dunia digital, orang bisa memilih konten dengan sesuka hati. Jika senang, orang akan menonton dan terus menonton sampai selesai. Sebaliknya, bila tidak suka, langsung skip. Ketika konsumen memilih konten si vlogger, artinya dia memang harus punya kemampuan luar biasa untuk menarik massa, memiliki pasarnya sendiri, dan engage dengan penonton.

“Itulah mengapa di dunia digital, egonya itu besar. Konten yang dibuat sekalipun dengan suatu merek, tetap harus ada idealisme mereka. Karakter dan ciri-ciri yang mereka tampilkan selama ini harus ada dan melekat terus, ” sambung Reza.

Mengenai harga, Reza menambah lagi, bahwa angkanya bisa sangat tinggi, alias mahal sekali. Pun begitu dengan Yuanita, untuk satu video berdurasi satu sampai tiga menit, LINE Indonesia harus merogoh kocek sebesar Rp 100 juta sampai Rp 250 juta. Tinggal hitung saja jika ada kampanye lebih dari satu. “Padahal, dua tahun lalu kisarannya masih Rp 30 juta sampai Rp 40 juta,” ungkap Yunita.

Namun, bukan berarti mereka tidak bisa diajak duduk bicara. Para vlogger tetap terbuka terhadap tawaran dan ide yang diajukan merek selama dalam koridor tepat. Yang penting adalah proses memelihara relasi keduanya. Kalau sudah sama-sama enak, bisa lanjut ke kampanye berikutnya.

“Yang paling penting sebenarnya adalah bagaimana walau masa kampanye sudah berakhir, hubungan tetap baik. Ke depannya jika berkolaborasi lagi akan ada banyak kompromi bisa dilakukan,” pungkas Reza.

 

Editor: Sigit Kurniawan

    Related