Merek seringkali berlomba-lomba menawarkan berbagai pilihan produk ke konsumen. Padahal, makin banyak pilihan, butuh waktu bagi konsumen untuk memproses dan menentukan pilihan.
Bahkan, banyak yang akhirnya justru menunda pembelian. Contoh dari kasus di atas diceritakan oleh Ignasius Untung, Praktisi Marketing & Behavioral Science.
“Dua minggu ini, saya disibukkan oleh usaha untuk mencarikan sepatu untuk anak saya yang baru saja naik ke kelas 9 SMP. Usianya yang baru 14 tahun ternyata bukan ukuran yang tepat untuk memperkirakan ukuran kakinya. Anak yang tingginya sudah hampir 180 cm ini memiliki ukuran kaki 47-48 yang tentunya tidak mudah untuk ditemui di Indonesia,” kata Untung dari Majalah Marketeers edisi Agustus 2022.
Setelah keluar masuk toko sepatu di berbagai mal, pencarian membawa Untung ke sebuah situs marketplace terbesar di Indonesia. Layaknya menemukan oase di tengah gurun, dia tersenyum lebar ketika menemukan banyak sekali pilihan sepatu berukuran jumbo di situs itu.
Ia mulai memilah-milih berbagai pilihan yang ditawarkan. Beberapa pilihan yang menarik dibukanya di tab baru untuk memastikan opsi-opsi yang menarik terpisahkan.
Sayangnya, setelah memisahkan belasan opsi menarik, masih terdapat ribuan opsi dari ratusan halaman yang belum dilihat. Kebahagiaan mulai turun, mengetahui bahwa ternyata pilihan yang sebegitu banyak, ternyata tidak jauh lebih baik dari kurangnya pilihan.
BACA JUGA: Marketing Executive Berperan Penting dalam Pemasaran Merek
Berbagai macam bisnis, seperti restoran, supermarket, departement store, toko kelontong, produsen telepon seluler, mobil, bahkan paket berlangganan seluler seringkali tergoda untuk menghadirkan begitu banyak pilihan. Kita menyadari bahwa sebagai konsumen, kita seringkali menunda atau bahkan membatalkan pembelian karena kurangnya opsi.
Maka dari itu, kita bereaksi ekstrem dengan menyediakan sangat banyak pilihan. Harapannya, ketika pilihan yang tersedia melimpah, maka tidak ada seorang pun konsumen yang tidak bisa menemukan pilihannya.
Konsep ini memang begitu populer 20 tahun lalu ketika semua pengusaha retail berlomba-lomba untuk menambah pilihan produk yang tersedia di toko mereka. Berkembang dari minimarket menjadi supermarket dan kemudian menjadi hypermarket.
Berawal dari plaza menjadi mal, lalu menjadi supermal. Namun, kita melihat bagaimana konsep ini ternyata tidak semanjur pada masa jayanya.
Lihatlah bagaimana ironisnya pertumbuhan negatif jumlah outlet berbagai hypermarket nasional. Di sisi lain, pemain convenience store yang lebih minim pilihan, seperti Indomaret dan Alfamart, malah menunjukkan tren pertumbuhan outlet yang amat sangat positif.
Dalam ilmu behavioral science, fenomena ini disebut sebagai choice overload alias kelebihan pilihan.
“Betul bahwa manusia butuh pilihan, namun kita harus sadar bahwa setiap pilihan juga membutuhkan proses pertimbangan yang akhirnya setiap pertambahan opsi akan membebani otak kita dalam mengolahnya,” katanya.
BACA JUGA: Marketing Agency: Cara Merek Tingkatkan Efektivitas Penjualan
Dalam banyak hal, otak manusia memang lebih perkasa dibandingkan superkomputer mana pun. Namun, dalam melakukan perbandingan sistematis dalam waktu cepat, otak kita memiliki banyak keterbatasan.
Ini terjadi karena working memory kita hanya bisa memproses tujuh plus-minus dua informasi dalam satu waktu bersamaan. Artinya, kita hanya mampu mengingat 5-9 hal dalam waktu bersamaan.
Ketika kita membandingkan pilihan-pilihan yang ada, yang harus diingat bukan saja pilihan yang tersedia saja, namun juga variabel turunan dari pilihan-pilihan tersebut. Misalnya saja, dalam proses membelikan sepatu untuk anak, saya harus mengingat merek, warna, harga, hingga modelnya.
Itu saja sudah ada empat variabel sehingga jika ada lima opsi saja, maka artinya saya harus mengingat 20 hal bersamaan. Bagaimana bisa memproses puluhan opsi?
Otak akan kewalahan untuk memprosesnya dan kita akan masuk ke fase anticipated regret, yaitu membayangkan bagaimana menyesalnya kita jika kita salah mengambil keputusan akibat terlalu rumitnya proses pemilihan terhadap pilihan yang berlimpah ini.
“Jangan-jangan nanti ada yang lebih murah atau ada yang lebih baik.”
Situasi itu akan semakin mendorong kita untuk tidak berani mengambil keputusan dan memilih untuk menunda.
“Dalam situasi melimpahnya pilihan dengan kompleksnya variabel dari tiap pilihan, mengambil keputusan jadi makin rumit. Inilah yang juga dinilai sebagai salah satu personality trait seorang leader yang baik, yaitu keberanian untuk mengambil keputusan untuk memilih. Tidak sedikit leader yang ‘main aman’ dengan menghindar untuk memilih. Logikanya, tidak memilih akan menempatkan mereka di posisi yang terbebas dari tuduhan salah. Padahal, tidak memilih juga seringkali lebih buruk dari memilih pilihan yang salah,” tutur Untung.
Editor: Ranto Rajagukguk