Meski Potensial, Ada Empat Tantangan Penetrasi Fixed Broadband di Indonesia
Indonesia menjadi pasar paling menarik bagi penyedia jaringan fixed broadband di Asia Tenggara. Hal tersebut karena negara ini memiliki wilayah yang luas dan jumlah penduduk yang begitu banyak. Di sisi lain, kebutuhan internet terus meningkat dan masyarakatnya cenderung adaptif dengan teknologi.
Di sisi lain, penetrasi internet berbasis fixed broadband masih rendah. Berdasarkan data World Bank, penetrasi pasar fixed broadband atau jaringan koneksi internet berbasis pita lebar tetap di Indonesia pada 2021 masih sangat kecil, baru mencapai 4%.
Padahal, koneksi internet berkecepatan tinggi dan stabil itu diperoleh dari koneksi fixed broadband, bukan mobile broadband. Sehingga koneksi fixed broadband lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan bisnis, perniagaan, edukasi, dan hiburan ketimbang mobile broadband. Melihat tuntutan pada internet cepat dan stabil kian tinggi, diprediksi para penyedia internet service provider (ISP) yang mayoritas mengandalkan teknologi mobile broadband bakal berlomba-lomba untuk merambah ke bisnis jaringan fixed broadband.
Namun begitu, ada berbagai tantangan untuk penetrasi fixed broadband. Kondisi geografi yang berupa kepulauan menjadi salah satu tantangan utama. Indonesia terdiri dari 17.000 pulau dari Sabang sampai Merauke, jadi sangat tidak mudah untuk menggelar kabel.
“Dibutuhkan komitmen yang besar dan keberanian dalam mengambil risiko bagi perusahaan ISP untuk menggelar jaringan fixed broadband di Tanah Air. Sebab, setidaknya ada empat faktor yang mengharuskan perusahaan ISP menaruh komitmen besar untuk itu,” kata Jeffrey Bahar, Group Deputy CEO Spire Research and Consulting,
Pertama, membutuhkan cost of investment yang cukup mahal. Karena Indonesia amat luas dan berkepulauan, maka perusahaan ISP harus siap dengan modal besar untuk membangun jaringan fixed broadband, termasuk backbone dan kabel laut, demi menjangkau pelanggan yang lebih banyak.
Kedua, kebutuhan pasar yang bersifat lokal. Meski dunia digital bersifat tanpa batas, kebutuhan pasar antardaerah cenderung berbeda-beda sehingga harus dilayani secara berbeda-beda pula. Ketiga, pemain lokal yang tak sedikit mengakibatkan kompetisinya tak kalah sengit.
Keempat, tingkat return on investment-nya lama. Karena berbekal modal yang besar dengan tingkat kompetisi pasar yang ketat, maka perusahaan ISP harus siap memperoleh return on investment atau tingkat pengembalian investasi dalam jangka waktu lama.
Empat faktor itulah yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan ISP berbasis teknologi fixed broadband yang sudah ada. Bahkan, sudah tentu juga dirasakan oleh pemimpin pasar (market leader) seperti IndiHome yang ditawarkan PT Telkom Indonesia Tbk. sekalipun. “IndiHome, meski sudah menguasai 81% pangsa pasar fixed broadband nasional, saya yakin juga tidak sedang dalam kondisi tenang-tenang saja,” tambah Albertus Edy Rianto, Senior Manager Spire Research and Consulting.
Ia menambahkan, sebagai perusahaan pelat merah, IndiHome juga harus menjaga konsistensi dan meningkatkan layanan demi memberikan pengalaman pelanggan (customer experience) yang lebih baik lagi, memperbaiki cost per bandwidth, dan lain sebagainya. Langkah itu mesti dilakukan di tengah budaya konsumen yang seringkali membandingkan antarlayanan secara tidak apple-to-apple, baik dari sisi penggunaan server, bandwidth, maupun kondisi saat pemakaian secara bersamaan (concurrent access), yang penting lebih cepat atau harganya lebih murah.
“Namun, untutan-tuntutan itu tidak diimbangi dengan peningkatan daya beli (spending power) pelanggan. Sehingga, pasar fixed broadband di Indonesia yang besar tapi membutuhkan upaya (effort) yang besar pula bagi perusahaan ISP untuk menggarapnya,” pungkasnya.