Definisi startup teknologi tidak terbatas hanya pada bisnis yang menjual solusi berbasis aplikasi atau yang menyediakan perangkat lunak sebagai layanannya. Melainkan, ini juga mencakup startup yang membangun produk non-digital, namun dengan melibatkan teknologi dalam proses bisnisnya. Konsep tersebut tengah digagas oleh perusahaan rintisan Mimpi.
Didirikan oleh seorang warga negara Belgia Frank De Witte, Mimpi adalah platform e-commerce yang khusus menjual matras tidur alias kasur. Platform tersebut menjual produk dengan merek yang sama, yaitu Mimpi. Mengklaim sebagai “matras revolusioner”, Mimpi melakukan penelitian dan pengembangan mendalam untuk menghasilkan kasur yang berkualitas.
Ide Mimpi lahir sayangnya bukan dari sebuah mimpi, melainkan sebuah kenyataan yang dialami oleh sang pendiri Frank De Witte. Saat lelaki itu pindah ke Indonesia dan mencari kasur baru di sebuah pameran, ia melihat semua kasur yang dipamerkan tampak sama.
Ketika De Witte berjalan mengelilingi pameran itu, dia diburu oleh tenaga penjual yang tidak tahu betul tentang teknologi yang digunakan di kasur mereka. Mereka menawarkan diskon, namun setelah dihitung-hitung, tidak memberikan keuntungan signifikan.
“Setiap orang menggunakan kasur lebih dari 33% waktu hidupnya. Mereka tidak perlu menghabiskan banyak uang hanya untuk sebuah kasur tapi mereka hanya perlu mendapatkan informasi yang cukup tentang apa yang mereka beli,” ujar Witte di hadapan jurnalis yang hadir di The Double Tree by Hilton, Kamis, (8/2/2018).
Ia melanjutkan, yang ia bisa dilakukan saat itu adalah mencoba kasur selama beberapa menit, dari satu kasur ke kasur lainnya. Hal ini malah membuat ia sulit untuk mengetahui apakah ia akan menyukainya atau tidak ketika menggunakannya setiap malam.
De Witte lantas pulang ke Belgia untuk berbicara dengan para profesional industri matras untuk merancang kasur yang sempurna dengan tampilan yang segar. Dua tahun kemudian, setelah menginvestasikan waktu dan sumber daya, Mimpi itu menjadi nyata setelah perusahaannya terdaftar di tanah air sejak tahun 2016.
“Kami merancang teknologi baru di Belgia dan merakit teknologi baru ini secara lokal dengan bahan dan produsen terbaik,” jelas De Witte.
Ia menjelaskan, komponen dalam kasur tersebut diimpor dari negeri asalnya Belgia. Namun, semua raw materials itu dirakit di pabrik yang ada di Indonesia. Kecuali bahan tekstil yang menjadi pelapis dari kasur tersebut.
Percayakan online
Tidak seperti perusahaan furnitur lain yang memiliki toko offline mereka sendiri, Mimpi menjual produk mereka secara online. Perusahaan memilih metode ini untuk memotong mata rantai distribusi, sehingga mereka bisa terhubung langsung dengan pelanggan.
Berdasarkan perhitungannya, mereka mampu menjual kasur sepertiga lebih murah dari harga biasa yang dibebankan toko offline. “Mimpi kami adalah mampu menjual kasur berkualitas dengan harga terjangkau,” kata De Witte.
Diyakininya, Mimpi menjadi kasur pertama di Indonesia yang mengusung ide semacam itu. Ia percaya kualitas tidur yang baik tidak memerlukan biaya tinggi.
“Kami percaya bahwa setiap orang berhak tidur terbaik dan ini seharusnya tidak diperuntukkan bagi orang yang sangat kaya saja,” kata De Witte.
Mimpi merancang segalanya mulai dari desain produk hingga distribusi online. Kasur itu dikemas secara optimal dengan menggunakan metode kompresi vakum, sehingga bisa dilipat dan muat dengan kemasan persegi yang relatif lebih kecil. Ini juga menjadi faktor lain yang berkontribusi terhadap efektifitas proses distribusi.
Pada tahap awal penetrasi pasar, dengan percaya diri Mimpi menawarkan program trial untuk tidur selama 100 malam. Jika pelanggan tidak puas dengan produknya, perusahaanakan menanggung pengembalian penuh kasur itu. Ini dianggap sebagai terobosan berani dibandingkan dengan mencoba kasur di toko.
Mimpi menargetkan masyarakat kelas menengah atas. Menurut De Witte, potensi pasar yang ada di Indonesia masih sangat besar. Pasalnya, negeri ini memiliki salah satu pasar kelas menengah dengan pertumbuhan tercepat di Asia dan daya beli mereka meningkat setiap tahunnya.
Berdasarkan data yang dirilis Knoema, PDB berdasarkan paritas daya beli (PPP) di Indonesia telah menembus US$ 3.027,83 pada tahun 2016. Dia merasa bahwa kasur seharusnya tidak memerlukan biaya mahal. Sayangnya, standar kasur yang ada saat ini adalah “mana yang paling mahal”.
Karena itu, pihaknya memotong biaya dalam proses penjualan dan logistik, bukan dalam proses pembuatannya. “Kita tahu markup terkadang tidak adil. Kasur dijual enam hingga 12 kali dari harga produksi. Itu berarti konsumen membayar gimmicks, markup ritel, komisi penjualan, dan keuntungan grosir,” ujar dia.
Menjadi yang pertama menjual kasur secara online, bukan berarti minim pesaing. Justru, Mimpi berkompetisi dengan pemain besar di industri matras yang masif berjualan offline. Apalagi, pencarian konsumen mengenai kasur di dunia online masih amat rendah. “Kami akan memperkuat digital marketing dan SEO kami di dunia online,” tutur De Witte.
Melabeli diri sebagai startup teknologi, Mimpi bertekad menjadi platform e-commerce yang menjual produk-produk urusan kamar tidur, yang tidak terbatas pada kasur, melainkan juga dengan aksesori lain. Dengan modal yang masih swadaya, De witte belum mau untuk mencari pendanaan dari investor lain.
Mimpi menawarkan beragam ukuran kasur, mulai single bed hingga king size. Harga yang dipatok mulai dari Rp 2,8 juta hingga Rp 11,8 juta sudah termasuk biaya ongkos kirim.
Mimpi memberikan pelajaran penting bagi perusahaan yang bekerja di industri kreatif. Perusahaan-perusahaan ini biasanya sudah menawarkan produk yang original dan unik. Hanya saja, yang mereka butuhkan adalah terobosan dalam membangun saluran distribusi mereka sendiri untuk terhubung langsung ke calon konsumen.
Editor: Saviq Bachdar