Sebelum berkesempatan menulis buku bersama Philip Kotler, salah satu tokoh marketing lain yang dikenal oleh Hermawan Kartajaya adalah Al Ries. Kalau Philip Kotler dikenal sebagai The Father of Modern Marketing, maka Al Ries adalah The Father of Positioning.
Proses membangun kampanye arti penting positioning dimulai pada tahun 1963, saat ia mulai mendirikan Ries, perusahaan consulting dengan spesialisasi positioning. Agar kampanyenya bisa berhasil dengan baik, Al Ries kemudian menulis sejumlah buku terkait dengan positioning.
BACA JUGA: Mengelola Komunitas Menjadi Strategi Marketing yang Ampuh
Di sejumlah buku dan tulisan, Al Ries seringkali mengatakan bahwa keberhasilan membangun positioning terkait dengan keberhasilan membangun persepsi di benak konsumen.
Yang menarik, berbagai kalimat terkait dengan membangun persepsi kemudian menjadi quote terkenal bagi orang marketing dan kemudian menjadi semacam panduan bagi orang marketing. Misalnya, “marketing is a battle of perceptions, not products,” yang ada di buku The 22 Immutable Laws of Marketing.
BACA JUGA: Strategi Push & Pull Marketing Moxa Buahkan 3.200 Pengguna Baru
Kutipan ini kemudian menjadi semacam panduan cara kerja orang marketing. Hanya saja dari buku yang sama juga muncul kutipan terkenal lainnya, yaitu “The only reality you can be sure about is in your own perceptions. If the universe exists, it exists inside your own mind and the minds of others.”
Menariknya, kutipan terakhir ini seperti bumerang bagi banyak orang marketing di mata orang-orang dari bagian lain di perusahaan atau orang-orang yang tidak bekerja di bagian marketing. Persepsi orang-orang bukan dari bagian marketing terhadap orang-orang marketing adalah orang yang membuang-buang uang secara tidak efisien.
BACA JUGA: Strategi Pull dan Push Marketing, Apa Itu dan Manfaatnya Untuk Merek
Sampai-sampai bujet besar terkait dengan marketing bisa dianggap sebagai indikator adanya inefisiensi di perusahaan! Inilah yang misalnya terjadi beberapa tahun lalu.
Salah satu bank besar di Indonesia pada tahun 2012 saat itu disebut pemimpin otoritas yang mengawasi industri keuangan di Indonesia melakukan inefisiensi dalam praktik marketing. Pasalnya, bank tersebut memiliki bujet marketing yang lebih besar dibandingkan dengan pesaing terdekatnya.
BACA JUGA: Experiential Marketing Jadi Cara Bintang Bangun Awareness We The Fest
Di sisi lain, otoritas yang kebetulan sangat peduli dengan kestabilan sektor keuangan melihat pesaing terdekat bank tersebut mempunyai laba yang lebih besar, baik secara nominal maupun secara rasio keuangan yang umum dipakai sektor perbankan. Pimpinan tertinggi bank tersebut kemudian menugaskan internal audit yang bertanggung jawab langsung ke pimpinan tertinggi untuk melakukan kajian atas apa yang disampaikan pimpinan otoritas yang mengawasi industri keuangan.
Setelah melalui beauty contest, MarkPlus ditunjuk oleh bank tersebut untuk melakukan kajian. Tentu saja, MarkPlus ingin melakukan kajian yang objektif sesuai dengan kapasitas dan pengalaman MarkPlus membantu banyak perusahaan dalam berbagai perjalanan.
BACA JUGA: Terapkan Strategi Sports Marketing, BAIC Rangkul DEWA United
Mulai dari yang sedang tahap awal, tahap pertumbuhan dan tahap mencapai kematangan bisnis. Artinya, dalam pekerjaan yang judulnya adalah marketing audit, MarkPlus ingin melakukan kajian yang objektif.
Ukurannya bukan hanya dari besar kecil bujet secara nominal atau proporsi biaya terhadap pendapatan yang diraih tetapi juga melihat keberhasilan kampanye marketing. Termasuk di dalamnya melihat keberhasilan dalam membangun positioning.
Bagaimanapun juga seperti yang disebutkan dalam quote pertama dari Al Ries di bagian sebelumnya, biaya besar di bidang marketing adalah biaya membangun persepsi dalam suatu positioning tertentu. Jadi, ukuran yang fair sebenarnya dimulai dari seberapa jauh positioning yang akhirnya terbentuk di benak konsumen sesuai dengan positioning yang direncanakan perusahaan.
Tanpa harus memperhitungkan biaya yang dikeluarkan, ini menjadi ukuran pertama. Ukuran lain adalah lamanya waktu yang dilakukan dalam melakukan kampanye membangun persepsi untuk membentuk suatu positioning.
Semua orang pasti ingin melakukan sesingkat mungkin. Hanya saja itu tidak sesuai dengan realitas, paling tidak kalau melihat kampanye jangka panjang yang telah dilakukan para pesaing terdekat dari bank yang menugaskan MarkPlus.
Faktor lain yang juga dilihat adalah kreativitas kampanye membangun persepsi itu sendiri. Kebetulan ada pengalaman lain MarkPlus membantu pembentukan positioning secara kreatif di beberapa industri, sehingga dalam waktu singkat terbentuk persepsi baru.
Meski secara nominal lebih besar, tapi dilihat dari persentase terhadap pendapatan yang diraih menjadi lebih kecil. Terakhir adalah acuan biaya.
Di perusahaan mana pun, sebetulnya tidak ada yang namanya unlimited budget. Kalau tidak akan mengacaukan perencanaan dan sebetulnya bisa membuat banyak orang di luar fungsi marketing yang punya persepsi kurang bagus terhadap orang marketing.
Kebetulan MarkPlus paham benar dengan yang unspoken concern dari orang-orang marketing. Orang-orang marketing dipersepsikan oleh misalnya orang-orang finance sebagai orang-orang yang tidak peduli pada efisiensi.
Sementara orang-orang akuntansi mempersepsikan orang-orang marketing sebagai orang yang tidak rapi dalam membuat laporan pertanggungjawaban pengeluaran marketing, sehingga susah dalam proses pembuatan jurnal untuk penyiapan laporan. Sebagian persepsi terbentuk bertahun-tahun.
Karena itu guru besar marketing di Wharton Business School Yoram Wind pada tahun 1981 atau lebih dari 40 tahun yang lalu sudah berusaha memetakan satu persatu hubungan antara orang-orang marketing dengan orang-orang dari bagian lain di perusahaan dalam tulisan yang berjudul Marketing and The Other Business Functions di Research In Marketing, Volume 5, 1981, halaman 237 – 264. Dalam cover dengan tulisan Yoram Wind itu bukan hanya dengan orang-orang finance dan accounting tapi juga sampai CEO.
Kalau orang-orang accounting bekerja karena ada panduan yang dipakai umum dan ditetapkan oleh asosiasi suatu profesi industri, seperti misal GAAP, PAI atau SAI, maka di marketing tidak ada panduan semacam itu. Padahal asosiasi profesi marketing juga ada, termasuk yang terkenal di dunia seperti American Marketing Association (AMA) yang anggotanya ada beberapa legenda yang dikenal luas di dunia marketing.
Mereka juga punya anggota berlatar belakang profesi yang berbeda, mulai dari akademisi hingga ke pelaku bisnis, baik profesional maupun pemilik. Dengan adanya orang-orang hebat dan di asosiasi yang banyak melakukan kajian terkait dengan praktik marketing terkini, mengapa tidak ada panduan seperti yang ada di dunia akuntansi.
GAAI atau PAI atau SAI adalah panduan yang digunakan dalam proses pembuatan laporan keuangan. Kebetulan, tahapan-tahapan yang mesti dilakukan memang sudah terstandardisasi, tidak peduli apa pun kondisi perusahaan.
Mau sedang mulai, sedang tumbuh hingga matang, semuanya melalui tahapan yang sama. Mau tidak mau ada persaingan ketat melalui tahapan yang sama.
Bahkan, mau jor-joran dalam keluar biaya atau tidak juga akan melalui tahapan penyiapan laporan yang sama. Ini yang susah dilakukan dalam aktivitas marketing.
Memang ada panduan umum, tapi tidak bisa menjadi keharusan, karena mesti memperhitungkan tahapan perkembangan perusahaan, situasi persaingan hingga ke kreativitas dalam melakukan kampanye. Paling-paling dinilai secara kualitatif, yang mungkin akan dihitung dengan melihat berbagai faktor-faktor sebagaimana disebutkan dalam kalimat sebelumnya.
Kerepotan lain muncul kalau marketing spending terkait dengan business to business (B2B) activities, mulai dari pengenalan diri, lobi hingga proses closing. Ini bukan hanya menyangkut besaran biaya tapi juga kepantasan aktivitas yang dilakukan dan biaya yang dikeluarkan.
Dalam hal ini, meski di Amerika misalnya ada profesi lobbyist, tapi tetap saja dilihat kontroversial oleh pihak tertentu. Terus terang, MarkPlus beruntung saat mendapatkan penugasan dari bank tersebut.
Saat itu counterpart team adalah orang-orang dari accounting dan finance, sebagaimana juga halnya salah satu anggota tim MarkPlus. Tapi, counterpart team adalah orang-orang terbuka memahami mengenai why, what dan how dalam marketing spending dan nantinya menyusun rekomendasi terkait marketing spending.
Terlibat dengan orang-orang yang selama ini sering punya persepsi tersendiri terhadap orang marketing adalah sebuah pengalaman yang bagus. Karena bisa berempati terhadap apa saja yang menjadi concern mereka.
Dan karena merupakan pihak ketiga yang independen jadi punya kesempatan lebih bagus sebagai jembatan terhadap orang-orang marketing. Tim marketing bank tersebut juga senang, karena mereka tidak dihakimi begitu, termasuk ketika aktivitas marketing yang dilakukan terlihat tidak efektif.
Ada sejumlah aktivitas yang berada di luar kontrol mereka. Karena itu mereka pun membutuhkan periode waktu yang lebih panjang dan tentu biaya yang lebih besar.
Mispersepsi terhadap orang marketing memang harus dilakukan. Kalau tidak akan ada gangguan dalam membentuk persepsi terkait dengan produk dan jasa dan pada akhirnya berpengaruh pada kemampuan perusahaan memenangkan persaingan.