Mochtar Riady jelas tidak bisa dipisahkan dari Lippo Group. Meski dinamika perjalanan bisnis Lippo Group di berbagai penjuru dunia dalam beberapa tahun terakhir tidak selalu melibatkan langsung dirinya, tapi fondasi yang ia letakkan membuat grup ini telah teruji oleh perjalanan waktu. Dan untuk sebuah grup usaha berskala raksasa, Lippo yang namanya baru mulai muncul pada tahun 1981, punya perjalanan usaha yang relatif pendek. Apalagi, mengingat pengusaha segenerasi Mochtar umumnya memiliki grup usaha yang sudah berusia di atas 50 tahun.
Mochtar Riady atau di dunia internasional kini lebih dikenal sebagai Mr. Li Wen Zheng memang “telat” membangun Lippo. Tapi justru hal itu menjadi blessing in disguise. Sebab, ia punya catatan rekor yang mungkin sulit diikuti orang lain di kemudian hari: profesional yang punya catatan sukses panjang, pendiri, dan pemilik salah satu grup usaha besar di Indonesia.
Bagaimana ia melakukannya? Dalam otobiografi yang baru-baru ini diterbitkan, ia banyak menyebut filosofi “mengejar kuda dengan menunggang kuda.” Artinya kalau ingin sukses berusaha, ya, harus bekerjasama dengan pengusaha sukses.
Banyak pengusaha yang sebetulnya menerapkan prinsip tersebut. Tapi intelektualitas dan guanxi yang mencakup keluarga besardan orang-orang dari kampung halaman sang kakekmembuatnya bisa melakukan eksekusi lebih baik dibandingkan yang lain. Baik ketika menjadi profesional maupun ketika membangun dan memimpin grup usahanya sendiri. Kedua hal tersebut bukan hanya dilakukan secara balance tapi saling memperkuat satu sama lain.
Intelektualitas bukan hanya pengetahuan akan filosofi kuno Tiongkok, tapi juga kemauan untuk melakukan studi, riset atau observasi. Contoh praktisnya ketika ia mulai pindah ke Jakarta membangun usaha di awal tahun 1950-an. Dengan jeli, dia memetakan potensi bisnis dan pengusahaTionghoa yang sudah sukses di Jakarta kala itu, yang akan membantudalam mewujudkan visi bisnisnya.
Ketika akhirnya membangun karir di dunia perbankan, ia mengajak kerja sama sejumlah raja bisnis dari berbagai sektor industri. Itu bukan hanya untuk memudahkan mendapatkan modal, tapi juga memudahkan mencari nasabah di kemudian hari lewat jaringan mereka.
Memang, tidak semuanya berjalan dengan sukses. Meski sempat mengalami jatuh bangun dalam meniti karir di dunia perbankan, seperti di Bank Buana dan Bank Panin, tapi “perubahan nasib” dari profesional menjadi pemilik sebuah grup usaha besar, bisa terwujud ketika Mochtar memperoleh kepercayaan dari “boss dari para boss di dunia bisnis Indonesia”, yaitu almarhum Liem Sioe Liong untuk menangani Bank Central Asia.
Disinilah gabungan intelektualitas dan guangxi muncul menjadi sebuah kombinasi yang dahsyat! BCA di tangan Mochtar Riady berkembang menjadi -secara tidak resmi- “clearing house” kedua setelah bank sentral.
Orang sekaliber Mochtar ternyata didengar pandangannya di Tiongkok, negara dengan cadangan devisa terbesar di dunia dan sebetulnya kini tidak kekurangan banyak orang hebat. Bahkan bukan hanya mengundangnya ke Tiongkok, tapi juga mengunjunginya di Indonesia. Itulah mengapa Mochtar layak meraih gelar Lifetime Achievement Marketeer Award 2015. Seperti apa selanjutnya? Selengkapnya di Majalah Marketeers Edisi Desember 2015 – Januari 2016.
Oleh: Taufik, Chief Operating Officer MarkPlus, Inc