Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menyebut bisnis transportasi daring atau ojek online merupakan bisnis yang gagal. Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat Djoko Setijowarno menilai hal itu berangkat dari minimnya pendapatan para mitra pengemudi.
“Transportasi daring bisnis gagal, driver-nya kerap mengeluh dan demo. Sementara pengemudi ojek daring sebagai mitra tidak akan merasakan peningkatan pendapatannya karena tergerus oleh potongan-potongan fasilitas aplikasi yang sangat besar,” kata Djoko dalam keterangan tertulisnya, Senin (10/10/2022).
Kesimpulan tersebut diperoleh Djoko melalui hasil survei yang dilakukan Kementerian Perhubungan pada rentang waktu 13–20 September 2022 dengan media survei online. Sampling adalah penduduk Jabodetabek pengguna ojek online dengan metode sampling kurang 5%.
Wilayah survei Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Sebanyak 2.655 responden masyarakat pengguna ojek online dan 2.016 responden mitra ojek online.
Mitra pengemudi didominasi oleh pria (81%) dengan usia terbanyak 20–30 tahun (40,63%) serta lama bergabung menjadi pengemudi ojek online terbanyak kurang dari 1 tahun (39,38%). Status sebagai pekerjaan utama 54% dan sebagai pekerjaan sampingan 46%.
Pendapatan per hari pengemudi hampir sama dengan biaya operasionalnya. Terbanyak rata-rata pendapatan per hari Rp 50.000-Rp 100.000 (50,10%) dan biaya operasional per hari terbanyak kisaran Rp 50.000–Rp 100.000 (44,10%).
Banyaknya pesanan sebelum pemberlakuan tarif baru 5–10 kali (46,88%) dan sesudah pemberlakuan tarif kurang dari 5 kali (55,65%). Pengemudi mengaku jarang mendapatkan bonus (52,08%) dari aplikator dan sebagian besar menyatakan tidak pernah (37,40%) mendapatkan bonus dari aplikator.
Responden juga menyatakan mendapatkan tip dari penumpang juga jarang (75,79%). Sementara itu, aspek keselamatan belum menjadi perhatian utama dari pengemudi ojek online.
Hal ini terlihat dari waktu operasi pengemudi yang belum memperhatikan aspek kelelahan yang akan berpengaruh terhadap keselamatan terlihat dari jam kerja yang didominasi 6-12 jam/hari (42,85 persen).
“Kegagalan bisnis transportasi daring sudah terlihat dari pendapatan yang diperoleh mitranya atau driver ojek daring. Sekarang, pendapatan rata-rata driver ojek daring di bawah Rp 3,5 juta per bulan dengan lama kerja 8 -12 jam sehari dan selama 30 hari kerja sebulan tanpa adanya hari libur selayaknya mengacu aturan ketenagakerjaan yang sudah diatur oleh Kementerian Tenaga Kerja,” katanya.
Mengutip hasil survei tersebut, Djoko mengatakan pendapatan ojek daring rata-rata masih sebatas kurang dari Rp 3,5 juta per bulan. Hal ini tidak sesuai dengan janji para aplikator angkutan berbasis daring pada tahun 2016 yang mencapai Rp 8 juta per bulan.
Pasalnya, aplikator tidak membatasi jumlah pengemudi, menyebabkan ketidakseimbangan supply dan demand.
“Jika ingin sebagai angkutan umum, otomatis segala persyaratan dan hal-hal yang berlaku bagi angkutan umum juga berlaku pula bagi sepeda motor yang berfungsi sebagai angkutan umum, seperti wajib melakukan uji berkala (kir), wajib dilengkapi perlengkapan, SIM C Umum, plat nomor kendaraan berwarna kuning, tarif ditetapkan perusahaan angkutan umum (bukan aplikator seperti sekarang) atas persetujuan pemerintah,” tuturnya.
Editor: Ranto Rajagukguk