Ada anekdot yang mengatakan, “Generasi pertama membangun, generasi kedua menikmati, dan generasi ketiga menghancurkan”. Mitos ini nyatanya menghantui hampir setiap perusahaan keluarga di Indonesia. Sebab, banyak pula perusahaan keluarga yang akhirnya hancur setelah tongkat estafet diberikan ke generasi berikutnya.
“Katanya, keberhasilan perusahaan yang diberikan oleh generasi pertama ke generasi kedua adalah 30%, dari generasi kedua ke generasi ketiga hanya 15%. Bahkan, generasi ketiga ke generasi keempat, cuma 5%,” ujar Samuel Pranata, Direktur Pemasaran Martha Tilaar Group saat bedah buku The 2nd G Challenges di Kuningan, Jakarta, Senin, (26/6/2016).
Samuel melanjutkan, salah satu hal yang mesti diperhatikan oleh generasi kedua dalam mengelola bisnis keluarga adalah setia pada nilai-nilai luhur atau value perusahaan yang dibangun oleh founding fathers alias para orang tua. Semua “undang-undang” yang dibuat founding fathers harus dihayati oleh seluruh direksi, sehingga mempengaruhi arah kebijakan perusahaan.
“Tantangan terbesar dalam setiap perusahaan keluarga adalah mempertahankan perusahaan agar tetap hidup sepanjang masa,” terang Samuel, anak dari Ratna Pranata yang merupakan adik dari Martha Tilaar.
Karena itu, sambung Samuel, estafet kepemimpinan merupakan tugas strategis yang harus disukseskan. Sebelum generasi pertama memberikan kepemimpinannya ke generasi berikutnya, setidaknya ada tiga hal yang harus dilihat, yaitu Competency, Passion, dan Attitude (CPA).
“Apakah generasi yang akan memimpin perusahaan nanti memiliki kompetensi, punya sikap dan perilaku yang mencerminkan keluarga, serta yang terpenting punya passion. Apakah passion mereka terletak di bisnis yang digeluti keluarganya atau tidak?” terang Samuel.
Lelaki yang mengawali karier di Martha Tilaar Group sebagai business development manager ini mengatakan, sikap yang mesti dihindari dari generasi penerus yaitu jangan pernah merasa “saya pemilik, saya lebih pandai, dan saya pernah belajar di luar negeri.”
“Jadikan generasi kedua bukan dilihat sebagai status anak pemilik, tapi memang mereka mampu membawa perusahaan keluarga lebih sukses dan berkembang, dari kompetensi dan sikapnya,” papar Samuel.
Di sisi lain, Bryan Tilaar, anak pertama Martha Tilaar menambahkan, tantangan yang dihadapi generasi kedua cukup besar. Apalagi, jenjang usia antara generasi pertama dan kedua cukup jauh.
Maka itu, agar anak mengerti jalan berpikir orang tuanya, mereka harus terjun ke bisnis keluarga sejak kecil. Ketika dari kecil seorang anak sudah “ditodong” untuk punya jiwa dagang, karakter enterpreneurial akan terbentuk dengan sendirinya, baik disadari atau tidak.
“Sebagai anak paling besar, saya dari kecil dituntut orang tua untuk menjadi koordinator dari adik-adik saya. Saya dari dulu harus ‘nyemplung’ ke bisnis keluarga dari hulu ke hilir,” kenang Bryan Tilaar Presiden Direktur PT Martina Berto Tbk ini, perusahaan kosmetika dari MTG.
Di luar kesibukannya mengurusi bisnis keluarga, Samuel Pranata dan Bryan Tilaar berhasil menyusun buku The 2nd G Challenges yang mengupas kasus 14 pemimpin generasi kedua yang berhasil membawa perusahaan keluarga menjadi lebih baik. Beberapa di antaranya adalah Irawati Setiady (Kalbe Farma), Noni Purnomo (Blue Bird), Ariano Rachmat (Grup Triputra), Michael Wanandi (Combiphar), dan Teresa Wibowo (Kawan Lama Retail).
Berdasarkan riset PricewaterhouseCooper (PwC) tahun 2014, 95% perusahaan di Indonesia adalah perusahaan keluarga dengan total kekayaan sebesar US$ 134 miliar atau 25% dari total PDB Indonesia. Perusahaan keluarga ini menaungi 40.000 orang terkaya di Indonesia dan mewakili 0,2% populasi.