Menjual musik dalam format fisik saat ini terbilang susah. Banyak toko yang menjual kepingan CD yang berisikan rekaman musik dan lagu sudah gulung tikar. Hal ini terjadi karena ulah para pembajak karya seni ini. Lalu semua pemain beralih ke distribusi secara online.
Namun, di kanal ini pun, para pembajak juga melakukan migrasi. Berbagai pernyataan di atas adalah keluhan yang disampaikan oleh para pelaku industri musik yang di dalamnya terdapat para musisi atau artis beserta timnya, perusahaan rekaman atau label, hingga perusahaan distributor. Lantas seperti apa nasib para pelaku bisnis ini?
Sebelumnya, jika kilas balik ke masa keemasan industri ini, puncak penjualan musik atau lagu dalam bentuk kepingan CD terjadi pada tahun 1996. Saat itu, sekitar 77 juta kepingan CD yang tersebar di pasar Indonesia dalam setahun. Namun, pada tahun selanjutnya, pembajakan semakin marak. Sejak itu, perlahan namun pasti, jumlah penjualan kepingan CD original terus menurun. Kondisi inilah yang disampaikan oleh Venta Lesmana, GM ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia).
“Penurunan jumlah penjualan CD original terus terjadi. Di sepanjang tahun lalu, kami hanya mencatatkan sekitar delapan juta keping CD yang tersebar di pasar ini. Bahkan, per Oktober 2015, kami hanya mencatatkan sekitar empat juta keping saja. Jumlah ini hanya 5% dari keseluruhan CD yang ada di pasar. Jadi, sisanya yang 95% adalah ilegal,” jelas Venta pada acara peluncuran aplikasi streaming musik JOOX di Exodus Jakarta, Selasa (20/10/2015)
Dari sini, para perusahaan label beralih dan mengubah bisnis modelnya. Jika dulu berurusan dengan konsumen akhir, kini model bisnis mereka berubah menjadi business to business (B2B). Meski terjadi perubahan, Venta menyampaikan bahwa ternyata bisnis musik digital lebih menguntungkan. Dari sisi biaya produksi yang dikeluarkan lebih efisien. Perusahaan tidak perlu menyediakan CD, cover, bahkan distribusi yang mahal bisa dipangkas.
“Secara umum, di industri music streaming, pemasukan yang didapat oleh perusahaan melalui paket premium yang disediakan oleh penyedia layanan, seperti JOOX. Para pemain akan menerima bayaran ketika produk mereka dimainkan. No play no royalty,” lanjutnya.
Meski begitu, bayang-bayang para pembajak tetap menyelimuti para pemain. Baru-baru ini, Asiri dibantu oleh Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Heal Our Music menemukan sekitar 100 website yang menyediakan pengunduhan musik secara ilegal. Dari 100 website tersebut, 25 di antaranya yang menjual konten musik Indonesia. Selanjutnya, Asiri melaporkan 25 website ini kepada Dirjen HAKI agar segera ditutup website tersebut oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Editor: Sigit Kurniawan