Negara Berkembang Harus Beradaptasi dengan Disrupsi Teknologi

marketeers article
Smart city. Modern city design with future technology for living. Illustration of innovations and Smart city .

Komisi Pathways for Prosperity on Technology and Inclusive Development atau Komisi Pathways merilis sebuah temuan riset mengenai dampak dari teknologi terdepan (frontier technologies) yang seringkali tidak terumuskan dengan baik. Hal itu mengakibatkan kebijakan di negara-negara berkembang pun cenderung jalan di tempat.

Dalam siaran persnya, Komisi Pathways menyebutkan banyak diskusi tentang dampak teknologi, misalnya artificial intellegent (AI), seringkali tidak menyertakan bukti yang kuat. Sehingga, kurang mampu memberikan gambaran yang cukup bagi pemerintah, dunia bisnis maupun warga negara berkembang terkait dampak teknologi baru.

Apalagi, yang dijadikan contoh adalah penggunaan teknologi terkini di negara maju. Akibat lebih lanjut, terjadi polarisasi antara kekhawatiran bahwa robot akan menggantikan peran manusia dalam banyak pekerjaan dan anggapan bahwa teknologi akan menjadi solusi tunggal dari semua masalah.

Tentunya pendapat tersebut harus segera diluruskan. Menteri Keuangan Indonesia yang juga Co-Chair Komisi Pathways Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa pada dasarnya revolusi teknologi ini, berikut disrupsi yang terjadi akibatnya, menawarkan berbagai peluang dan juga tantangan baru. Terlebih lagi, berkat teknologi terdepan ini menyediakan cara baru dalam meningkatkan kesejahteraan bagi banyak orang, termasuk mereka yang tinggal di negara yang ekonominya sedang berkembang.

“Negara yang ekonominya sedang berkembang harus mampu menghadapi dan beradaptasi dengan disrupsi teknologi yang terjadi. Sekarang tinggal bagaimana untuk memastikan bahwa cara baru ini bisa benar benar inklusif,” ungkap Sri Mulyani dalam laporan Komisi Pathways.

Ia menambahkan, di Indonesia misalnya, teknologi digital telah menghubungkan sektor ekonomi informal dengan sektor ekonomi formal. Karena itu, menurutnya, kita perlu segera memulai diskusi baru berdasarkan bukti kuat terkait upaya pemberdayaan para pengambil keputusan di negara-negara berkembang. “Tujuannya agar mereka lebih bisa mengkapitalisasi teknologi baru serta mengelola dengan lebih baik disrupsi yang terjadi,” tambah Mulyani.

Inklusivitas teknologi ini sangat penting untuk memberikan semua orang kesempatan yang sama dalam mengakses teknologi digital. Mengingat, sekitar tiga miliar jiwa yang diprediksi akan tetap offline pada tahun 2023 dan semakin banyak lagi yang gagal memperoleh potensi dari internet secara penuh. Pendekatan bisnis seperti biasa (business-as-usual) untuk desain dan penyampaian layanan digitalnya tidak dapat menjangkau orang-orang yang termajinalkan.

“Kita tidak bisa membiarkan adanya batasan yang menghalangi kelompok miskin dan marjinal untuk mendapatkan manfaat dari inovasi teknologi di masa mendatang,” ujar Co-Chair the Bill & Melinda Gates Foundation serta Co-Chair Komisi Pathways Melinda Gates.

Menurutnya, bila kita bisa lebih strategis dalam investasi dan kebijakan yang kita ambil di titik kritis ini,  maka akan membantu lebih banyak orang memanfaatkan teknolog. Dengan begitu, bisa menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semuanya.

Menurut Komisi Pathways, gelombang perubahan teknologi saat ini mewakili persimpangan jalan dalam sejarah yang unik, terutama dalam hal cakupan dan kecepatannya.  Akan ada yang menang dan ada yang kalah. Tapi, kemampuan teknologi dalam membantu pengentasan kemiskinan yang ekstrem dan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) akan bergantung pada pilihan keputusan negara bersangkutan. Selain itu, ini juga bergantung pada kualitas bukti yang mereka miliki serta dukungan dari komunitas internasional.

Komisi Pathways terdiri dari tokoh-tokoh terkemuka dari pemerintahan, sektor swasta, dan akademisi. Diselenggarakan oleh Fakultas Blavatnik School of Government dari Universitas Oxford.

    Related