Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis indikator strategis terkini, Senin (17/10/2022). Indikator tersebut terkait dengan Perkembangan Ekspor dan Impor di Indonesia pada September 2022.
Setianto, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS menyampaikan nilai ekspor Indonesia pada September 2022 mencapai US$ 24,80 miliar, turun sekitar 10,99% dibandingkan dengan ekspor pada bulan sebelumnya. Namun demikian, dibandingkan September 2021, nilai ekspor sekarang naik hingga 20,28%.
BACA JUGA: Tertinggi sejak 2014, Inflasi September 2022 Mencapai 1,17%
“Ekspor nonmigas September 2022 mencapai US$ 23,48 miliar, turun 10,31% dibandingkan Agustus 2022. Tetapi, naik 19,26% dibandingkan ekspor nonmigas pada September 2021. Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia dari bulan Januari hingga September 2022 mencapai US $219,35 miliar, naik US$ 33,49 miliar dibanding periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, ekspor nonmigas mencapai US $207,19 miliar, naik 33,21%,” kata Setianto di Jakarta, Senin (17/10/2022).
Ia menjelaskan penurunan terbesar ekspor nonmigas pada September 2022 terjadi pada komoditas lemak dan minyak hewan atau nabati, yakni sebesar US$ 1.425,4 juta atau 31,91%. Sementara itu, peningkatan terbesar terjadi pada bijih logam, terak, dan abu, yakni sebesar US$ 238,1 juta atau 29,07%.
BACA JUGA: Harga BBM Bakal Naik, BPS Perkirakan Ada Inflasi yang Tinggi
Berdasarkan sektor, ekspor nonmigas hasil industri pengolahan pada Januari hingga September 2022 naik 22,23%, dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Demikian juga ekspor hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan yang naik hingga 15,37%, serta ekspor hasil tambang dan lainnya yang meningkat hingga 91,98%.
“Ekspor nonmigas September 2022 terbesar adalah ke Tiongkok, yaitu sebesar US$ 6,16 miliar, disusul Amerika Serikat sebesar US$ 2,11 miliar dan Jepang sebesar US$ 2,10 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 44,17 %. Sementara itu, ekspor ke ASEAN dan Uni Eropa (27 negara) masing-masing sebesar US$ 4,45 miliar dan US$ 1,81 miliar,” ucap Setianto.
Selain itu, berdasarkan provinsi asal barang, ekspor terbesar Indonesia periode Januari hingga September 2022 berasal dari Jawa Barat, dengan nilai US$ 29,37 miliar atau 13,39%. Kemudian, diikuti dengan Kalimantan Timur sebesar US$ 26,76 miliar, atau 12,20% dan Jawa Timur sebesar US$ 18,95 miliar atau 8,64%.
Sementara untuk nilai impor Indonesia periode September 2022 mencapai US$ 19,81 miliar, atau turun 10,58% dibandingkan Agustus 2022. Namun, meningkat sebesar 22,01% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Untuk impor migas September 2022 senilai US$ 3,43 miliar, turun 7,44% dibanding Agustus 2022, namun naik 83,53% dibandingkan September 2021.
“Impor nonmigas periode September 2022 senilai US$ 16,38 miliar, turun 11,21% dari Agustus 2022, tetapi naik 14,02% dibanding September 2021. Setianto menjelaskan, penurunan impor golongan barang nonmigas terbesar September 2022 dibanding Agustus 2022 adalah besi dan baja, yakni senilai US$ 342,2 juta atau 25,57%. Sedangkan, peningkatan terbesar adalah logam mulia dan perhiasan atau permata senilai US$ 182,5 juta atau 50,37%.
“Tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar periode Januari hingga September 2022 adalah Tiongkok senilai US$ 50,29 miliar atau 33,88%. Diikuti dengan Jepang senilai US$ 12,65 miliar, atau 8,52%, dan Thailand senilai US$ 8,52 miliar, 5,74 %. Sementara itu, Impor nonmigas dari ASEAN senilai US$ 25,37 miliar atau 17,09 % dan Uni Eropa senilai US$ 8,40 miliar, atau 5,66 %,” papar Setianto.
Berdasarkan golongan penggunaan barang, nilai impor pada periode Januari hingga September 2022 terhadap periode yang sama tahun sebelumnya meningkat. Peningkatan tersebut terjadi pada barang konsumsi, yaitu senilai US$ 496,3 juta atau 3,52 %, bahan baku atau penolong senilai US$ 33.340,7 juta atau 31,72 %, dan barang modal senilai US$ 6.433,1 juta, atau 32,17 %
“Neraca perdagangan Indonesia periode September 2022 mengalami surplus US$ 4,99 miliar, terutama berasal dari sektor nonmigas, yakni senilai US$ 7,09 miliar. Kendati demikian, hal tersebut tereduksi oleh defisit sektor migas senilai US$ 2,10 miliar,” tutur Setianto.
Editor: Ranto Rajagukguk