Oleh Taufik, Deputy Chairman, MarkPlus Inc
“Menurut Anda, manakah yang merupakan perusahaan terbaik di Indonesia,” Eva Riyanti Hutapea, CEO Indofood Sukses Makmur bertanya di suatu hari dalam sebuah pertemuan terbatas pada akhir Januari 1996.
Indofood adalah salah satu blue chip companies di Indonesia. Dalam situasi itu tentu terbayang kira-kira apa jawaban yang mestinya muncul. Apalagi pertanyaan tersebut dilontarkan pada awal pertemuan.
Pengalaman beberapa tahun sebelumnya membaca berbagai studi kasus dan artikel jurnal di ruang kerja Direktur Program MM UI Profesor Wahyudi Prakarsa, dan pertemuan dengan sejumlah CEO dari perusahaan top Indonesia lainnya, termasuk salah satu alumni Harvard Business School yang di kurun waktu itu memimpin perusahaan penerbangan, mendorong untuk tidak berdiplomatis. Keluarlah jawaban nama sebuah perusahaan yang terkenal karena kemampuan membangun servis dan tentu juga sejumlah catatan mengenai apa yang menjadi pekerjaan rumah Indofood. Sebuah jawaban yang tidak diduga oleh para peserta lain di pertemuan terbatas.
Tapi yang tidak diduga adalah respons dari Eva Riyanti. Salah satu wanita yang saat itu memimpin blue chip companies di Indonesia selain Sri Urip Semioen di Unilever tanpa terkesan defensive kemudian menjelaskan panjang lebar apa yang telah, sedang dan akan dilakukan selaku CEO di Indofood. Kalau Sri Urip yang kemudian sempat bertemu di kantor Unilever, beberapa bulan setelah pertemuan dengan Eva Riyanti, menjadi wanita pertama yang menjadi CEO di Unilever bukan hanya di Indonesia tapi juga dunia.
Hal tersebut antara lain karena ada program Indonesiasasi manajemen di Unilever. Eva Riyanti mempunyai perjalanan karier berbeda. Selain menjadi dosen di FEUI, Eva Riyanti juga pernah bekerja sebagai auditor, orang keuangan di United Tractors, unit alat berat grup Astra, dan kemudian meniti karier di salah satu crown jewel dari Salim Group.
Pertemuan pada akhir Januari 1996 tersebut kemudian menjadi hubungan panjang, termasuk di periode turbulensi. Banyak cerita behind the scene yang bisa memperkuat tacit knowledge mengenai pengelolaan perusahaan besar. Bukan hanya sekadar planning, tapi juga bagaimana melakukan penyesuaian eksekusi yang relevan dengan tuntutan baru situasi di lapangan.
Evan Riyanti sempat mendampingi Linda Lim, salah satu teman profesor Singapura yang menjadi pengajar di University of Michigan. Linda sempat bilang bahwa pengalaman panjang yang terakumulasi saat berinteraksi dengan Eva Riyanti tersebut tak ubahnya sebuah kuliah di business school. Kebetulan Eva Riyanti memimpin Indofood ketika perusahaan mengalami perjalanan bisnis yang sungguh menantang. Dari suatu masa di mana para pemegang sahamnya dekat dengan pusat kekuasaan ke berbagai perubahan kekuasaan pada beberapa tahun kemudian.
Tantangan utama bukan pada ke operasional perusahaan sebagai produsen dari apa yang sudah seperti staple food di Indonesia, tapi bagaimana berbagai perubahan kekuasaan tidak mengganggu persepsi dan kinerja salah satu blue chip companies. Kebetulan Indofood adalah sebuah crown jewel yang masih dimiliki existing shareholders pada saat sister companies lainnya diambil alih BPPN atau pemegang saham baru. Tentu muncul tekanan kuat agar ada perubahan kepemilikan di Indofood.
Selain mesti memimpin timnya tentang bagaimana berhadapan dengan berbagai pesaing baru, tentu Eva Riyanti juga mesti menunjukkan Indofood sebagai good corporate citizen. Di situlah muncul tangan dingin Eva Riyanti dalam berinteraksi dengan stakeholders Indofood yang sangat luas secara lincah. Salah satunya adalah ikut mendukung pelaksanaan kunjungan pertama Megawati Soekarno Putri selaku Presiden ke Jepang pada tahun 2001.
Tentu bukan hanya hubungan dengan pengambil kebijakan, tapi juga membangun hubungan dengan berbagai komunitas bisnis. Termasuk di antaranya trio M Lutfi, Erick Thohir dan Sandiaga Uno, yang sejak paruh kedua tahun 1990-an hingga 2004 sedang merintis karier menjadi pengusaha besar dan sedang memperluas network. Artinya bukan hanya sekadar memperluas hubungan perusahaan dan vendor, tapi juga ikut dalam upaya perluasan network dunia usaha di Indonesia.
Dalam program kunjungan Presiden Megawati pada tahun 2001, mencakup misalnya networking antara pengusaha Indonesia dari berbagai bidang yang tergabung dalam KADIN dengan para pengurus KEIDANREN, yang sangat powerful di Jepang. Networking itu diperlukan karena untuk menarik investasi misalnya bukan hanya sekadar regulasi atau perizinan yang lebih favorable atau menunjukkan peluang, tapi juga kemungkinan melibatkan mitra lokal. Melibatkan berbagai pengusaha dalam rangkaian program dengan kunjungan Presiden bisa memperlancar proses networking dunia usaha Indonesia dan Jepang.
Dengan lingkup pergaulan dan scope of work yang luas, Eva Riyanti bisa menunjukkan selera seni yang bisa masuk kalangan pengusaha top Jepang. Setelah memberikan hadiah ulang tahun kepada penemu mie instant dan sekaligus pendiri Nissin Momofuku Ando, di Bali pada awal tahun 1999 melalui pertunjukan kolosal yang eksklusif dari Guruh Soekarno Putra. Dalam program kunjungan Presiden Megawati juga mempersembahkan pertunjukan kolosal eksklusif lainnya dari Guruh Soekarno Putra. Sebuah pendekatan unik dalam membangun networking yang kuat dengan dunia usaha Jepang.
Tentu menjadi seorang wanita CEO bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah. Khususnya kalau CEO yang berlatar belakang sebagai profesional. Sebagaimana pernah dikatakan sendiri oleh Eva Riyanti, “ya, kadang-kadang saya mesti berpikir dan mengambil keputusan seperti para lelaki yang biasanya menjadi pengendali board room.”
Itulah kenapa, di tengah-tengah gejolak lingkungan usaha pada Indonesia tahun 1997–2004, Eva Riyanti berhasil memimpin perusahaan dengan kinerja unggul pada saat banyak blue chip companies lainnya mengalami gejolak kinerja. Muncul banyak kreativitas pengembangan produk dan pasar. Kadang-kadang hal itu membuat bankir dan calon investor terkaget-kaget saat bertemu dengan Eva Riyanti. Mereka disuguhi berbagai produk baru yang tercipta saat Eva Riyanti memimpin perusahaan.
Kalau Fiat Uno pernah bilang Driving is Believing, maka Eva Riyanti seolah-olah bilang Eating is Believing. Ini jelas lebih meyakinkan dibandingkan sekadar rencana kerja, data statistik, proyeksi, photo, display atau mock up dari product. Berbagai varian rasa dengan varian kemasan, langsung dicoba di meeting room oleh misalnya bankir atau calon investor.
Itulah sebabnya, bukan hal yang aneh saat road show ke calon investor di luar negeri, baru sepertiga materi dipresentasikan, sudah oversubscribed investor yang mau membeli obligasi. Ketika ditanyakan mengenai kesuksesan road show, Eva Riyanti biasanya merendah dengan bilang investornya banyak dari Indonesia sehingga sudah tahu banyak tentang Indofood.
Tapi kodrat sebagai wanita, ibu dan istri tetap melekat pada diri Eva Riyanti. Awalnya heran, mengapa seorang CEO sampai perlu meluangkan waktu untuk melihat draf video materi iklan. Di salah satu pertemuan, terkait iklan, sambil membuka-buka berbagai dokumen, Eva Riyanti melihat anak yang duduk di kursi penumpang di baris kedua tidak mengenakan sabuk pengaman dan minta iklannya diganti sebagai bentuk dukungan Indofood pada pendidikan kampanye berlalu lintas.
Sementara itu, peran sebagai istri biasanya diceritakan mengenai apa yang terjadi di rumah. “Aku memang CEO (Indofood), tapi kalau di rumah ya aku mesti melayani anak-anak dan suami,” kata Eva Riyanti ketika suatu saat ngobrol santai. Kebetulan pula suami Eva Riyanti, Bun Bunan Hutapea adalah pejabat di Bank Indonesia dan pernah didapuk sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia.
Dari kurun waktu 1997-2004 itu, Eva Riyanti seperti menunjukkan bagaimana Indofood layak bukan hanya sebagai salah satu blue chip companies, tapi seolah-olah menjawab dengan bukti mengenai pertanyaan yang diajukannya di akhir Januari 1996. Selamat jalan bu Eva. Terima kasih atas pelajaran mahal yang telah banyak diajarkan saat memimpin perusahaan dalam periode penuh turbulensi.