Dalam sebuah industri, beberapa perusahaan mungkin mengambil keuntungan dengan melakukan monopoli. Mereka secara head-to-head bahkan melakukan offensive marketing untuk saling serang melawan posisi.
Offensive marketing berbeda dengan defensive marketing yang lebih berorientasi untuk mempertahankan posisinya ketimbang secara terbuka menunjukkan strategi adu kekuatan. Defensive marketing mencoba untuk menjaga pelanggannya agar tidak beralih ke kompetitor.
Strategi yang dilakukan pun banyak berkutat pada harga, kualitas produk, dan strategi marketing. Lalu, bagaimana dengan offensive marketing? Simak penjelasan selengkapnya pada artikel di bawah ini:
Apa yang dimaksud dengan offensive marketing?
Menurut Monash Business School, offensive marketing adalah salah satu jenis strategi perang dalam pemasaran yang dirancang untuk mencapai tujuan tertentu, seperti meraup pangsa pasar yang dimiliki oleh pesaing. Selain itu, strategi tersebut juga dilakukan untuk mendapatkan pelanggan dalam jumlah besar, mendominasi pasar, mencari margin tinggi, dan menginginkan loyalitas tinggi.
Perusahaan yang mengadopsi strategi ini biasanya memiliki keinginan untuk selalu inovatif, mengejar title sebagai market leader, dan bahkan melakukan serangan pada lawan terkuatnya. Langkah pertama yang dilakukan biasanya adalah mengidentifikasi terlebih dahulu keunggulan dan kelemahan dari setiap kompetitor.
Berikut beberapa narasi yang mungkin bisa dibangun dalam offensive marketing:
- Produk kompetitor mungkin memiliki harga murah, namun milik kami tak hanya sebatas harga saja, kami menawarkan kualitas terbaik dari produk sejenisnya.
- Dengan harga yang sama, produk kami mampu memberikan keuntungan yang jauh lebih banyak dibanding kompetitor.
- Produk kami memang mahal, tapi dijamin aman dan sehat bagi kesehatan, tidak seperti kompetitor yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan Anda dan keluarga.
Menurut Investopedia, offensive strategy ini terbilang mahal karena bisa mencakup merger, akuisisi, investasi R&D, hingga perlindungan intellectual property.
BACA JUGA: Defensive Marketing: Strategi Market Leader Bertahan Melawan Gempuran
Mengapa offensive marketing perlu dilakukan?
Perusahaan yang ingin merek dan produknya dapat menjadi market leader perlu bisa menjadi trendsetter ketimbang hanya menjadi follower. Perusahaan yang melakukan strategi offensive marketing ini cenderung selalu mampu berinovasi dan bahkan mengalokasikan budget yang cukup besar untuk melakukan research and development.
Tujuan utamanya adalah meraup sebesar-besarnya competitive advantage hingga pada akhirnya mampu mengeliminasi pesaing satu per satu. Namun, perusahaan yang melakukan strategi ini juga harus bersiap atas konsekuensi biaya yang mungkin akan sangat membengkak selama strategi ini berjalan.
Tipe-tipe offensive strategy
Berikut beberapa tipe offensive strategy yang dilansir dari Investopedia:
1. End run strategy
Strategi ini bertujuan untuk mengeksploitasi pasar yang sama sekali belum terlayani dan tersentuh oleh pemain mana pun. Umumnya perusahaan akan menjangkaunya dengan menawarkan produk niche market yang sangat spesifik untuk segmen tertentu.
2. Pre-emptive strategy
Strategi ini biasanya sudah menjadi competitive advantage bagi perusahaan yang sudah benar-benar melekat. Umumnya dilakukan oleh perusahaan inovator yang menghasilkan produk inovatif sekaligus mampu menyelesaikan permasalahan pelanggan secara tepat sasaran.
Perusahaan ini sulit diganggu karena menyandar title sebagai “first mover”.
BACA JUGA: 5 Tips Bangun Positioning Agar Merek Baru Bisa Tangguh Berkompetisi
3. Serangan langsung
Strategi ini cukup agresif biasanya dilakukan dengan perang harga, saling kejar-kejaran dalam soal inovasi fitur atau produk terbaru, bahkan bisa secara face-to-face melemahkan pihak pesaing.
4. Akuisisi
Strategi ini jelas secara terbuka berusaha menyingkirkan pesaing dari pasar. Perusahaan terkuat bermodal besar akan membeli perusahaan kompetitor, sehingga dapat terjadi penggabungan pasar baru, basis pelanggan yang jauh lebih luas, sekaligus sumber daya yang lebih besar secara instan.
Akan tetapi ingat, offensive strategy ini jelas sangat mahal, sehingga perlu dipertimbangkan dengan baik, terutama agar tidak terjadi monopoli dalam pasar.
Contoh kasus offensive marketing
Para market leaders umumnya saling merendahkan pesaing secara frontal. Hal inilah yang dilakukan pada saat terjadi “Burger Wars” pada tahun 1998.
Dalam sebuah iklan cetak, Burger King berusaha mempromosikan sandwich baru yang diberi nama Big King. Big King berusaha untuk menyerang sandwich paling populer di McDonald’s.
Dalam iklannya, Burger King memberikan statement, “Seperti Big Mac, kecuali daging sapinya yang 75% jauh lebih banyak dan itu dipanggang dengan api.” Statement tersebut menunjukkan sindiran keras Burger King pada Big Mac milik McDonalds yang dianggap daging sapinya jauh lebih sedikit dibanding Big King.
Demikianlah penjelasan dari offensive marketing strategy yang umum dilakukan oleh para market leaders dalam industri. Selain dilakukan oleh perusahaan besar, offensive strategy ini juga dapat diadopsi oleh para startup yang bertujuan ingin mendisrupsi pasar lewat produk inovasi yang diciptakannya.
Sebelum melakukan strategi ini, lakukanlah perencanaan yang matang, termasuk dari segi biaya dan sumber daya lainnya.
BACA JUGA: Kenali 4 Strategi Marketing Warfare, Jangan Sampai Senjata Makan Tuan!
Editor: Ranto Rajagukguk