OJK: Industri Keuangan Harus Punya Pedoman Keuangan Berkelanjutan

marketeers article
Foto: www.123rf.com

Menerapkan bisnis berkelanjutan tidak hanya untuk industri-industri yang menghasilkan produk dan komoditas. Industri keuangan juga harus memiliki kepedulian pada isu-isu lingkungan hidup, termasuk perubahan iklim.

Terkait dengan hal tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyusun panduan manajemen risiko terkait perubahan iklim. Panduan  akan mewajibkan semua pelaku sektor jasa keuangan mempunyai pedoman internal dan business plan yang terkait dengan pelaksanaan dari berbagai kebijakan keuangan berkelanjutan.

“OJK akan memasukkan risk management on climate change ini sebagai salah satu basis dalam pengawasan lembaga keuangan dan perbankan. Inisiatif keuangan berkelanjutan sudah harus dilakukan karena jika tidak dilakukan, maka akan ada biaya yang lebih mahal yang harus dibayarkan bagi generasi mendatang,” kata Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso Ph.D dalam acara webinar Katadata SAFE Forum 2021, Kamis (26/8/2021).

Rencana itu merupakan bagian dari peta jalan atau Roadmap Keuangan Berkelanjutan tahap II (2021-2025) yang telah disusun OJK. Tujuannya, untuk mendorong ekonomi berkelanjutan melalui inisiatif keuangan berkelanjutan.

Ia juga mengapresiasi para pelaku sektor keuangan yang telah menjadi pelopor pembiayaan berkelanjutan atau green financing di Indonesia. Para pelopor itu antara lain, PT SMI yang telah menerbitkan obligasi hijau (green bond) sebesar Rp 500 miliar, Bank BRI yang menerbitkan sustainability green bond sebesar US$ 1,92 miliar, dan Bank Mandiri dengan green bond senilai US$ 300 juta.

Kemudian, ada Bank DBS Indonesia yang juga telah menjalankan komitmen untuk mengedepankan pendanaan hijau atau berkelanjutan di Indonesia. Menurut Corporate Banking Director PT Bank DBS Indonesia Kurnady Lie, sejak 2017 bank ini sudah mulai menginisiasi sustainable financing. Lalu, pada tahun 2021, DBS secara keseluruhan telah membiayai S$ 9,6 miliar dengan skema pembiayaan hijau. Bahkan DBS menargetkan untuk menggelontorkan sustainable financing ini sebesar S$ 50 miliar pada tahun 2024.

Untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia, tahun lalu DBS telah membantu perusahaan di bidang geothermal dengan menerbitkan green bond sebesar Rp 500 miliar lebih. Awal tahun ini bank ini juga membantu sebuah perusahaan pakan ternak dengan menerbitkan sustainability link bond sebesar US$ 350 juta.

“Jadi kami sangat aktif, dan ke depan kami berharap lebih banyak menggarap green financing ini. Untuk debitur juga ada benefit-nya. Debitor yang dinilai comply terhadap penilaian ramah lingkungan akan mendapatkan bunga yang lebih rendah,” kata Kurnady di acara webinar yang sama.

Sementara itu, Presiden Direktur PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) Edwin Syahruzad mengatakan,    sebagai lembaga keuangan pihaknya selalu berusaha memanfaatkan sumber-sumber pendanaan, salah satunya pasar modal. Upaya SMI menerbitkan obligasi hijau pertama di Indonesia pada 2018 merupakan bagian dari upaya diversifikasi sumber-sumber pendanaan.

“Hasilnya memang tidak besar, penerbitan pertama Rp 500 miliar. Tapi, itu akan mendorong kami untuk melakukan penyaluran pembiayaan ke arah proyek-proyek yang sifatnya lebih ramah lingkungan,” ujar Edwin.

Hasil obligasi hijau tahu 2018 dari SMI itu telah digunakan untuk proyek-proyek ramah lingkungan, yaitu pembangunan pembangkit listrik minihidro Tunggang di Bengkulu, dan juga di Lubuk Gadang yang telah rampung. Ada juga proyek transportasi LRT Jabodebek yang diperkirakan usai di pertengahan 2022.

    Related

    award
    SPSAwArDS