Corporate Social Responsibility (CSR) telah lama digandeng banyak perusahaan sebagai bagian dari kampanye sosial masyarakat. Di luar skeptisme CSR saat ini, ternyata warga Asia Tenggara paling menyukai perusahaan yang mengampanyekan tanggung jawab sosial.
Setidaknya pendapat itu tercermin dari hasil riset terbaru Nielsen mengenai Global Corporate Sustainability Report 2015. Menurut riset itu, ternyata, masyarakat Asia Tenggara bersedia membayar lebih untuk produk atau jasa yang melakukan praktik sustainability, melebihi warga belahan dunia manapun.
Riset ini juga menunjukkan delapan dari sepuluh konsumen di Asia Tenggara (80%) lebih memilih untuk membeli merek-merek yang memiliki komitmen pada tanggung jawab sosial, dibandingkan dengan Asia Pasifik (76%), Timur Tengah/Afrika (75%), dan Amerika Latin (71%), Eropa (51%), dan Amerika Utara (44%).
Di antara konsumen Asia Tenggara, konsumen Vietnam dan Filipina adalah konsumen yang paling percaya tentang aktivitas CSR. Baik Vietnam (86%) maupun Filipina (83%) menyatakan mereka bersedia membayar ekstra untuk produk atau jasa dari perusahaan yang berkomitmen memperbaiki problem sosial dan lingkungan.
Survei ini dilakukan Nielsen di 30.000 konsumen yang tersebar di 60 negara dunia. Konsumen diberikan pertanyaan seberapa besar faktor lingkungan, kemasan, harga, pemasaran, serta bahan organik atau klaim kesehatan berpengaruh terhadap keputusan pembelian mereka untuk produk konsumsi.
“Konsumen saat ini menunjukkan kepeduliannya terhadap isu lingkungan dan sosial,” kata Sagar Phadke, Executive Director Consumer Insights PT Nielsen Indonesia. Shadkar melanjutkan, konsumen juga mengharapkan hal yang sama dari perusahaan. “Karena itu, merek-merek yang berkomitmen pada sustainability akan mendapat tempat di hati konsumen.”
Nielsen melaporkan, penjualan produk konsumsi dari merek-merek yang berkomitmen pada sustainability bisa tumbuh lebih dari 4% secara global, dibandingkan dengan tahun lalu. Sebaliknya, pertumbuhan pada merek-merek yang tidak berkomitmen pada sustainability anjlok di kisaran 1%.
CEO PT Trans Kalimantan Economic Zone Hiramsyah S. Thaib kepada Marketeers mengatakan, CSR pada dasarnya hanyalah menyisihkan 2%-5% dari net proft perusahaan untuk program sosial. Meski positif, Hiramsyah bilang, CSR hanya bersifat sementara.
“Saat ini, social entrepreneurship menjadi pendekatan baru bagi perusahaan. Bagaimana, perusahaan tidak hanya mencetak keuntungan, tetapi di sisi lain, memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar, baik jangan pendek, menengah, hingga panjang,” terangnya.
Hiram melanjutkan, perbedaan mendasar CSR dan social entrepreneurship terletak pada keberlanjutannya (sustainability). Social entrepreneurs harus telah mengadopsi nilai-nilai ke dalam setiap perencanaan bisnis, dari mulai strategic plan, business plan, dan operating plan.
“Artinya, semua produk yang dihasilkan suatu perusahaan, harus produk-produk yang memberikan manfaat kepada masyarakat. Tidak hanya ekonomi, tapi juga sosial,” papar Hiramsyah yang juga CEO Trg Investama ini.
Editor: Sigit Kurniawan