Tujuh puluh tahun merdeka, Indonesia telah mencetak sebanyak 48.500 orang dengan kekayaan di atas US$ 1 juta. Begitulah hasil Wealth Report 2016 yang dilansir oleh Knight Frank.
Padahal, pada satu dekade sebelumnya atau tahun 2005, kalangan dengan aset sekitar Rp 13 miliar itu tercatat hanya 10.800 orang. Artinya, jumlah jutawan negeri ini melesat hingga 400% selama sepuluh tahun terakhir.
Jumlah jutawan dollar itu terbagi atas empat kategori. Pertama, mereka yang beraset di atas US$ 1 juta (Rp 100 miliar). Jumlah orang berduit ini adalah paling banyak, atau mencapai 26.600 orang.
Kedua adalah multijutawan atau kalangan beraset di atas US$ 10 juta, jumlahnya sebanyak 2.530 orang. Jumlah ini meningkat lima kali lipat dari satu dekade lalu yang sejumlah 560 orang.
Dari angka itu, laporan Knight Frank menyebut, multijutawan yang menetap permanen di Jakarta mencapai 1.380 orang atau 0,014% dari total penduduk Jakarta yang sebanyak 9.607.787 (Badan Pusat Statistik 2010).
Nah, Ketiga yaitu kalangan ultra-high net worth individuals (UHNWI) atau orang dengan aset US$ 30 juta, jumlahnya juga melejit dari 244 orang pada tahun 2005, menjadi 1.096 orang.
Keempat, kalangan centa millionaires atau miliarder dengan kekayaan lebih dari US$ 100 juta, dan triliuner atau aset lebih US$ 1.000 juta.
Saat ini, jumlah miliarder di Indonesia sebanyak 143 orang dan triliuner 16 orang. Bandingkan dengan catatan satu dasawarsa lalu, masing-masing hanya berjumlah 32 dan 4 orang.
Knight Frank menghitung aset jutawan dolar itu berdasarkan aset tak bergerak, seperti properti yang meliputi vila, hotel, pergudangan, dan kondotel. Begitu juga dengan aset bergeraknya seperti saham. Aset yang dihitung itu tidak termasuk rumah pribadi yang didiami.
Knight Frank memproyeksi, hingga sepuluh tahun mendatang, jumlah miliarder dollar di Indonesia melejit 112%. Rinciannya, jutawan akan berjumlah 101.900 orang, multijutawan 5.310 orang, ultra-kaya 2.302 orang, miliarder 300 orang, dan triliuner 34 orang.
Jurang Kaya-Miskin Meningkat
Sayangnya, peningkatan jumlah orang kaya di negeri ini tidak dibarengi dengan penurunan rasio gap antara orang kaya dan miskin, atau disebut juga sebagai rasio gini.
World Bank pada tahun 2015 lalu menyebut bahwa rasio gini di Indonesia berada di level 0,42%. Rasio gini menggunakan skala antara 0-1, di mana 0 menunjukkan tidak adanya kesenjangan sosial di masyarakat dan angka 1 menunjukkan tingkat kesenjangan sosial mencapai titik maksimal.
Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menyatakan bahwa golongan menengah atas di Indonesia mendapatkan manfaat atas perekonomian negeri yang kian membaik, namun tidak bagi kelas bawah. Bahkan, masyarakat kelas atas yang populasinya hanya 20% di Indonesia menguasai hampir 50% distribusi pendapatan negara.
Hal ini mencerminkan bahwa di saat Produk Domestik Bruto meningkat, tak membuat ketimpangan antara kaya dan miskin semakin menipis. Ini menjadi tantangan serius Indonesia sebagai negara berkembang.
Editor: Sigit Kurniawan