Masa remaja atau masa menjelang remaja adalah waktu di mana seseorang akan mengalami pergolakan secara psikologis dan perubahan secara fisik. Pengaruh seperti orang tua, pergaulan, dan faktor-faktor lain akan sangat memengaruhi perkembangan psikologi anak menjelang remaja atau biasa disebut pre teen.
Pengaruh cara berpikir itu sejalan dengan perubahan fisik. Dan, perkembangan tersebut juga memengaruhi paradigma remaja dalam memandang tubuhnya. “Namanya body image. Itu cara pandang si anak terhadap fisiknya karena usia pre teens adalah masa di mana anak-anak akan mulai memperhatikan tubuhnya secara lebih mendalam,” ujar psikolog remaja dan keluarga Sutji Sosrowardojo di acara yang digelar oleh Frisian Flag di Jakarta, Selasa (21/6/2016).
Baik anak laki-laki dan perempuan akan mengalami hal serupa. Namun, menurut Sutji, paradigma body image akan lebih kentara dirasakan oleh anak perempuan. Mereka akan lebih memikirkan fisik mereka dengan pengaruh-pengaruh dari luar. Salah satunya media yang selalu menampilkan sosok perempuan bertubuh sempurna dan langsing sehingga memengaruhi pemikiran anak perempuan soal penampilan fisik seharusnya.
Pasalnya, perkembangan fisik tiap orang berbeda. Faktor keturunan salah satu yang juga berpengaruh. Mau tidak mau, anak akan mengikuti atau memiliki kemiripan dengan orang tuanya. Jika ternyata perkembangan itu tidak sesuai dengan pemikiran soal tubuh sempurna, anak akan menjadi minder.
“Sekarang, zamannya selfie. Sedikit-sedikit selfie. Dan, nanti ketika di-posting itu yang sudah diolah lewat aplikasi sehingga fisik mereka terlihat lebih bagus seperti kulit terlihat lebih halus. Saya perhatikan bukan hanya anak-anak saja ternyata orang tua juga gemar. Di mal-mal, contohnya, ketika mereka duduk di restoran sambil tunggu makanan orang tua pada selfie. Secara tidak langsung, ada pengaruhnya buat anak,” sambung Sutji.
Selfie sendiri setidaknya sikap yang sedikit-sedikit ingin menunjukan kesempurnaan berlebihan. Ketika orang tua mulai sering selfie dan ada ketidakpuasan terhadap penampilan fisik maka secara tidak langsung akan mempengaruhi anak untuk memiliki sikap serupa.
“Kadang ibu suka mengatakan, “aduh, mama gendut ya,”,”mamah ini ya, itu ya,” dan anak-akan memiliki pemikiran serupa karena contoh itu. Akibatnya, mereka jadi minder dan mencoba memiliki tubuh sempurna. Makan pun dikurangi agar langsing. Efek parahnya bisa mengarah ke depresi sampai bunuh diri,” terang Sutji.
Untuk itu, orang tua harus mengajarkan kepada anak bagaimana cara mensyukuri tubuh sendiri. Yang patut diingatkan kepada buah hati adalah bahwa bukan faktor fisik jadi pertimbangan tapi bagaimana memiliki kualitas diri dari dalam. Misalnya, jika ternyata ada kekurangan pada fisik orang tuanya, baik ayah atau ibunya harus pintar-pintar membuat anak percaya diri.
“Misalnya, kalau ternyata si ibu lebih mancung dari anaknya dan anaknya itu komplain, pujilah dia dengan hal lain. Biar hidungnya pesek tapi katakan si anak jauh lebih cantik dengan pipi yang chubby. Contoh lain ketika ada keluarga yang hidungnya lebar mengamping seperti jambu, katakan kepada anak bahwa keluarga besar mereka punya bentuk hidung serupa dan justru itu yang membuatnya jauh lebih fun, punya hidung jambu bareng-bareng. Jadikan sedikit kekurangan menjadi sesuatu menyenangkan,” sambung Sutji lagi.
Berdasarkan sebuah survei, angka ketidakpercayaan diri di masa pre-teens memang cukup tinggi. Setidaknya, lebih dari 50 persen anak-anak berusia delapan sampai dua belas tahun ingin kurus walau sudah punya tubuh ideal. Di masa usia delapan tahun itulah, anak-anak akan memasuki masa remaja. Fisik mereka akan berubah perlahan mulai dari pertambahan tinggi, tumbuhnya payudara pada perempuan, serta volume testis lebih besar pada laki-laki.