Orang Tua Perlu Terus Waspada pada Keamanan Online untuk Anak

marketeers article
Personal data security concept. 3D rendering elements of this image furnished by NASA

Pada masa anak-anak berusia antara 7 dan 12 tahun mengakses banyak layanan digital yang sama dengan orang tuanya, seperti situs web streaming video atau fasilitas digital lainnya. Ada banyak ancaman dan risiko online yang dapat memengaruhi sikap anak-anak terhadap internet. Banyak orang tua menyadari hal ini dan ingin berkomunikasi dengan anak-anak mereka tentang cara mengurangi bahaya yang mungkin terjadi.

“Hampir setiap anak-anak sekarang memiliki akses ke perangkat yang terhubung ke internet, ada kemungkinan mereka akan menemukan konten yang tidak pantas atau berisiko memiliki ancaman online, seperti modus grooming ataupun pencurian identitas,” kata Marina Titova, Head of Consumer Product Marketing di Kaspersky dalam keterangan medianya.

Penelitian Kaspersky, lanjut Titova, menunjukkan bahwa orang tua cukup menyadari bahwa percakapan dan nasihat mungkin tidak selalu cukup untuk memastikan anak-anak mereka menghargai risiko potensial dari menjelajah internet. “Banyak orang tua juga bahkan menggunakan aplikasi untuk mengontrol konten dan penetapan waktu yang dihabiskan di perangkat.”

Sebuah survei global terbaru dari Kaspersky telah menemukan bahwa  untuk keamanan online, beberapa orang tua lebih suka berada di zona aman dari pada mempercayai penilaian anak mereka. Meskipun lebih dari dua pertiga (67%) orang tua setidaknya setuju bahwa anak-anak mereka memiliki kesadaran penuh akan risiko online. Lalu, sekitar setengahnya tetap memiliki kewaspadaan yang didukung dengan menggunakan berbagai alat dan praktik untuk menjaga anak-anak mereka tetap aman saat menggunakan internet.

Terdapat temuan menarik bahwa beberapa orang tua modern beranggapan bahwa menjaga keamanan saat berselancar di internet adalah tindakan yang efektif. Oleh karena itu, dua pertiga (67%) dari orang tua setidaknya menyetujui bahwa anak-anak mereka sepenuhnya menyadari risiko online. Namun, di samping percakapan yang bermakna ini, orang tua dapat didorong untuk mengambil pendekatan yang lebih proaktif dalam mengetahui apa yang telah dilakukan anak-anak mereka secara online.

Salah satunya, setengahnya (50%) memeriksa secara manual perangkat anak-anak mereka,  seperti meninjau riwayat pencarian browser setelah digunakan. Ini bisa disebabkan oleh anak mereka yang sebelumnya menyembunyikan aktivitas internet mereka atau tidak mematuhi nasihat orangtuanya. Beberapa orang tua menggunakan teknik digital grounding’, yakni dengan melarang anak-anaknya menggunakan perangkat jika mereka melakukan kesalahan. Setengah (52%) dari orang tua juga menetapkan batas waktu untuk anak-anak mereka menggunakan perangkat yang terhubung ke internet.

Kemudian, lebih dari sepertiga (35%) telah menginstal pemantauan orang tua (parental control)  pada perangkat anak-anak mereka untuk membatasi dan memperketat penggunaan internet atau detil penelusuran lainnya. Hampir sepertiga (30%) orang tua menggunakan fasilitas pemantauan orangtua bawaan, seperti yang ditemukan di konsol video game, untuk menjaga anak-anak mereka aman. Demikian pula, 30% juga menggunakan pengaturan dalam router Wi-Fi keluarga untuk mematikan akses internet setelah periode waktu yang ditentukan.

“Kami mendorong orang tua untuk menempatkan asumsi apa pun yang mereka miliki tentang kebiasaan online anak-anak mereka pada sudut pandang tepat. Berdialog terbuka dengan anak-anak mereka tentang perlunya mengontrol kegiatan digital dan keamanan internet karena konten berbahaya adalah salah satu hal yang sangat mungkin mereka temukan saat menjelajah dunia daring,” tambah Titova.

    Related