Bayangkan Anda berpelisir dengan bujet terbatas ke India. Pilihan akomodasi murah memang melimpah. Namun, rasanya sulit untuk menemukan penginapan murah berstandar baik dengan amenities yang cukup serta tempat yang nyaman.
Kondisi itu membuat pria berusia 22 tahun Ritesh Agarwal untuk membangun jaringan akomodasi dengan standar minimum, namun memiliki kualitas dan bisa dipercaya. Pada tahun 2012, mahasiswa drop-out ini mendirikan OYO Rooms.
Mengaku terinspirasi dengan bagaimana Uber mendisrupsi bisnis transportasi, Ritesh menganggap ada ruang yang besar bagi dirinya untuk membuat hal yang serupa, namun untuk urusan tidur. Sampai saat ini, OYO telah hadir di 350 kota dengan lebih dari 10.000 mitra yang tersebar di enam negara, yakni India, China, Nepal, Malaysia, Inggris, dan Indonesia.
Di negara asalnya, India, OYO berhasil menjadi bayang-bayang dari jaringan bujet akomodasi Taj Hotel yang dikelola oleh raksasasa Tata Group. Di sana, OYO telah memiliki 125.000 kamar dan pertumbuhan transaksinya mencapai tiga kali lipat setiap tahun. Ritesh mengatakan OYO merupakan startup yang mendisrupsi bisnis perhotelan India yang nilainya mencapai US$ 7 miliar.
OYO mendapat suntikan dana besar, khususnya dari tiga investor setianya, yaitu SoftBank Vision Fund, Sequoia Capital, and Lightspeed Venture Partners. Nilainya mencapai US$ 1 miliar, menjadikannya sebagai salah satu startup unicorn asal India menyusul jejak Paytm dan Flipkart.
Kesuksesan di India memberanikan OYO untuk mencari “kandang” baru. Pilihan jatuh pada China, negara berpenduduk 1,2 miliar jiwa yang memiliki problem yang mirip dengan India.
“Di China, penetrasi hotel murah berstandar sangat rendah. Empat kamar untuk seribu orang. Bandingkan dengan sepuluh orang di Inggris dan 20 di Amerika,” papar Ritesh.
Hanya perlu waktu sepuluh bulan bagi OVO untuk mencengram China, negara dengan nilai pasar perhotelan mencapai US$ 1 triliun. Di Negeri Tirai Bambu, OYO telah tersebar di 171 kota dengan menawarkan 87.000 kamar.
Beruntung, pada tahun lalu, OYO mendapat “santunan” dari perusahaan properti besar China Lodging Group yang mempompakan dana US$ 10 juta ke perusahaannya. Ini tentu saja menambah level darah bagi OYO untuk dapat bersaing dengan AirBnB maupun agregator sejenis, Tujia yang juga besar di China.
Masuk Indonesia
Dari China, OYO melompat ke Indonesia, negara dengan populasi terbesar keempat di dunia. Sejak hadir kurang dari setengah tahun di Indonesia, OYO baru mengantongi 30 hotel dengan seribu kamar di tiga kota; Jakarta, Surabaya, dan Palembang. Dalam 15 bulan ke depan, OYO bertekad menambah jumlah jaringannya di 35 kota Indonesia, khususnya Yogyakarta, Bandung, dan Bali.
Pria asal Gurgaon, India ini menjelaskan, untuk mencapai target itu, pihaknya menggelontorkan dana sebesar US$ 100 juta, yang diambil dari dana investasinya dulu. Ristesh menilai, pasar penginapan murah Indonesia masih terbuka lebar, meskipun startup sejenis seperti RedDoorz dan Airy telah lebih dulu masuk menawarkan layanan serupa.
“Indonesia lagi-lagi adalah pasar potensial bagi kami, Jumlah akomodasi di bawah 100 hingga 50 kamar masih banyak yang belum memberikan standar baik kepada pelanggan,” tuturnya,
Ia juga menjelaskan bahwa OYO berbeda dari kompetitor yang telah disebutkan di atas itu. Alih-alih menolak sebagai agregator hotel murah, Ritesh lebih memilih memposisikan OYO sebagai jaringan dan manajemen hotel layaknya grup-grup besar semacam Accorhotels, Archipelago, dan Tauzia Hotels.
“Kami bekerja miirp dengan mereka (operator hotel). Tetapi kami memanfaatkan lebih banyak teknologi,” jelas dia.
Karenanya, model bisnis OYO pun terbagi dalam dua kategori, yakni lease (sewa) dan franchise (waralaba). Pemilik properti bisa membeli waralaba merek OYO, sehingga operasional dikelola langsung oleh tim OYO dengan royalty fee sebesar 20%.
Atau, pemilik hanya bekerja sama dengan skema sewa atau bagi hasil untuk kamar yang berhasil di-booked di paltform OYO. Oleh sebab itu, OYO mengubah branding-nya dari OYO Rooms menjadi OYO Hotels.
Ritesh menambahkan, pihaknya menjanjikan enam hal untuk semua kamar OYO; AC, TV layar datar, Wi-Fi gratis, sarapan gratis (opsional), linen dan kamar mandi bersih. OYO juga menggunakan teknologi back-end system tidak hanya dalam hal pemesanan, melainkan juga dalam operasional melalui aplikasi internal.
“Dari housekeeper hingga General Manager memanfaatkan aplikasi itu untuk memantau dan mengevaluasi segala hal, dari mulai kebersihan kamar hingga kecepatan Wi-Fi,” papar dia.
Selama ini, OYO membanderol setiap kamarnya mulai dari Rp 149.000 hingga Rp 499.000. Ia pun bertekad ingin menjadi jaringan hotel terbesar di Indonesia dalam lima tahun ke depan.
“Kami akan tumbuh cepat di Indonesia. Dengan investasi kami di Indonesia, kami akan menjadi pemain hotel terbesar di negeri ini,” ujar Ritesh.
Editor: Sigit Kurniawan