Tahun 1972, Paris menarik perhatian dunia sehubungan dengan kemunculan film Last Tango in Paris yang kontroversial. Beberapa adegan dalam film dengan aktor Marlon Brando -yang kemudian muncul dalam The Godfather yang juga dibuat di tahun 1972- tidak pernah terbayangkan muncul dalam sebuah film untuk konsumsi bioskop umum pada masa itu.
Padahal Tango itu sebetulnya adalah tarian terkenal Argentina, sebuah negara yang jauh letaknya dari Paris. Pemilihan Paris sepertinya memang disengaja karena Prancis dengan Paris sebagai icon adalah identik dengan kebebasan, yang bahkan tidak berani dilakukan di negara Eropa lainnya pada masa itu.
Spanyol dan Italia sampai melarang peredaran film tersebut. Sementara di Inggris, banyak adegan yang dipotong oleh lembaga sensor sebelum beredar di bioskop di sana.
Brand association Paris dengan kebebasan, sebetulnya sudah mulai dari akhir tahun 1960-an, dengan kemunculan lagu “Je t’aime… moi non plus” yang melambungkan nama Jane Birkin, terutama sejak dimainkan pertama kali di sebuah kafe di Paris. Artis yang beberapa tahun kemudian menjadi inspirasi salah satu seri tas mahal Hermes sebetulnya adalah asal Inggris tapi bisa menyanyikan lagu Prancis.
Lagu yang dinyanyikan Jane Birkin tersebut kemudian menjadi salah satu lagu terpopuler di Inggris, yang pertama untuk lagu non-English dan diberbagai negara di dunia. Sebelum lagu itu, di Paris di tahun 1959 seorang pengarang Prancis membuat novel berjudul Emmanuelle yang baru resmi diterbitkan di tahun 1967.
Novel ini adalah simbol Perancis yang bebas dan terbuka. Itulah sebabnya lagu “Je t’aime… moi non plus,” sampai disebut sebagai Emmanuelle versi lagu.
Emmanuelle pada akhirnya dibuat sebagai film di tahun 1974, dengan pemeran Utama Sylvia Kristel, artis wanita asal Belanda. Film yang tidak beda jauh dengan novelnya makin membuat brand association Prancis dan Paris dengan kesenian yang bebas, termasuk penggambaran adegan yang dulunya tidak mungkin ditampilkan terbuka. Film itu kemudian menjadi film Prancis paling sukses sampai sekarang.
Paris dan Prancis tidak hanya identik dengan kebebasan seperti yang terkait dengan film dan lagu di atas, tapi memang kebebasan dari penguasa yang zalim. Selain itu juga menginginkan para penguasa yang membumi.
Itulah yang kemudian muncul dalam bentuk Revolusi Prancis ratusan tahun yang lalu dengan slogan yang terkenal liberte, egalite, fraternite. Yang menarik, meski Revolusi Prancis 1793 dipicu antara lain karena penguasa yang hidup bermewah-mewahan pada saat banyak rakyat yang tidak bisa membeli makanan sehari-hari, yang namanya gaya hidup bermewah-mewahan tidak dihilangkan sama sekali.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Kemewahan, dalam berbagai bentuk mulai dibangun sejak era Louis XIV di tahun 1665 ketika Prancis masih belum apa-apa dalam produksi barang mewah dibandingkan Italia, Belanda dan Tiongkok.
Sejak tahun 1665 Perancis mengumpulkan berbagai ahli dalam berbagai bidang untuk menghasilkan berbagai barang mewah berkualitas tinggi, mulai dari pakaian, sepatu, peralatan makan dan minum, perhiasan hingga anggur. Barang-barang mewah tersebut selain dikonsumsi anggota keluarga kerajaan dan kelas menengah yang cinta harta kekayaan yang disebut bourgeois, juga dijual ke luar negeri.
Karena mampu menjaga kualitas produk selama bertahun-tahun, dan pada saat yang bersamaan bisa membuat tren baru, barang-barang mewah buatan Prancis kemudian menjadi pilihan orang-orang kaya dari berbagai negara dan sekaligus sebagai simbol status. Revolusi Prancis yang berpuncak dengan hukuman mati kepada Raja Louis XVI dan istrinya Marie Antoinette dengan pisau besar yang disebut guilottine di tahun 1793 memang diikuti dengan hukuman mati dan penjara kepada anggota keluarga kerajaan dan kroninya.
Beberapa barang mewah milik mereka ada yang dijarah dan ada yang dihancurkan. Tapi banyak juga yang disimpan.
Itulah sebabnya ketika terjadi arus balik di tahun 1799 atas Revolusi Prancis yang menimbulkan banyak kekacauan, gaya hidup mewah pun muncul kembali sekalipun Kerajaan Prancis yang menjadi pelopor gaya hidup mewah tidak dihidupkan kembali. Lagipula, Revolusi Prancis tidak menyerang para ahli pembuat barang-barang mewah yang tetap bisa berkarya sekalipun terjadi perubahan kenegaraan.
Pelan tapi pasti, para pembuat barang mewah kemudian muncul sebagai luxury brands dari berbagai bidang. Selain kebebasan dan barang mewah, suasana jalan di kota Paris dan café yang ada di berbagai jalan seperti memunculkan suasana yang berbeda untuk melakukan pertemuan khusus yang disebut rendezvous.
Bagi sebagian orang, suasana saat rendezvous seperti menikmati kemewahan dalam bentuk lain. Dalam perjalanan waktu, kata rendezvous kemudian terasosiasi dengan pertemuan khusus yang dibuat oleh pasangan yang sedang memadu kasih.
Rendezvous di antara pasangan yang memadu kasih dan dikombinasikan dengan suasana jalan dan café di kota Paris memunculkan suasana romantic yang lain. Apalagi dikombinasikan dengan cara makan ala Prancis yang kebetulan butuh waktu lama dan porsi sedikit. Inilah yang kemudian membuat banyak novelis genre percintaan yang mengambil Paris sebagai lokasi dan membuat asosiasi Paris sebagai kota yang romantis bisa terbentuk dengan kuat.
Simbol Paris sebagai kota romantic makin kuat ketika Eiffel Tower dibangun di tahun 1887 dan selesai di tahun 1889 untuk menyambut 100 tahun Revolusi Prancis. Menara ini selain menjadi benchmark baru dunia arsitektur dan konstruksi, karena menjadi menara pertama dengan tinggi di atas 1.000 kaki dan relatif cepat dibangun karena menggunakan kerangka baja, akhirnya menjadi simbol keabadian.
Digabung dengan asosiasi Paris sebagai kota romantic, maka Eiffel di kota Paris menjadi simbol romantisme yang abadi atau cinta yang dibawa sampai mati. Ketika Prancis menjadi tuan rumah Piala Dunia di tahun 1998 dan Paris menjadi saksi keberhasilan tim nasional Prancis memenangkan Piala Dunia yang pertama, asosiasi Paris sebagai kota yang bebas, barang mewah dan romantic diperkuat dengan fakta baru sebagai simbol keberagaman.
Para pemain Prancis bukan hanya pemain dari keturunan Prancis tapi juga berasal dari negara lain di Eropa atau bekas negara jajahan Prancis di Afrika atau berbagai wilayah lain di dunia. Inilah yang kemudian membuat negara-negara kuat sepakbola Eropa, seperti Jerman, Spanyol, Belanda dan Inggris mengikuti jejak Prancis.
Piala Dunia bukan satu-satunya international event yang menciptakan asosiasi baru terhadap Prancis dan Paris. Di tahun 2015, seiring dengan kekhawatiran akan perubahan iklim, diadakanlah pertemuan internasional besar untuk menghimpun kesepakatan global menghadapi perubahan iklim yang disebut sebagai Paris Accord dan berlaku efektif di tahun 2016.
Peristiwa di tahun 2015 itu membuat Paris punya asosiasi baru sebagai kota yang peduli dengan perubahan iklim. Ketika event internasional lain muncul di Paris di tahun 2024, Olimpiade Musim Panas, Paris seperti ingin menunjukkan evolusi city branding.
Citra lama sebagai kota yang bebas, barang mewah, fashion, dan romantis mesti ditambah dengan citra baru yang muncul seiring dengan berbagai perubahan yang terjadi di Prancis pada umumnya dan Paris pada khususnya. Dan yang paling menarik adalah keputusan untuk menunjukkan kuatnya komitmen pada Paris Accord 2015.
Sejumlah penyelenggaraan olimpiade, diikuti dengan investasi besar dalam bentuk pembangunan baru berbagai fasilitas untuk olimpiade, seperti stadion baru atau hotel untuk para atlet. Paris yang pusat kotanya tidak memiliki pencakar langit seperti ingin menunjukkan gaya yang berbeda dengan tidak membuat fasilitas baru, tapi memanfaatkan fasilitas yang ada.
Yang paling menarik adalah melakukan pembersihan sungai Seine yang dipakai sebagai salah satu sarana olimpiade. Selain itu, berbagai ikon lain Paris, seperti kafe dan tentu saja Menara Eiffel juga dimanfaatkan dalam proses penyelenggaraan olimpiade.
Dari kafe di sepanjang sungai Seine, dalam suasana egalite dan fraternite, para pengunjung bisa menyaksikan defile negara peserta olimpiade yang menggunakan kapal yang melaju di sungai Seine. Sementara Menara Eiffel dipakai penyanyi Kanada Celine Dion yang lama absen dari dunia seni karena sakit, menyanyikan lagu “L’Hymne A l’Amour atau The Hymn to Love.”
Terlepas dari kontroversi adegan satire Last Supper dalam acara pembukaan olimpiade, tapi Paris 2024 adalah cara Paris melakukan city branding dengan gaya Prancis yang bebas. Mereka bahkan berani menghidupkan kembali adegan Marie Antoinette yang di-guilottine dalam acara pembukaan, sesuatu yang di negara lain mungkin masuk dalam sejarah kelam dan sebaiknya tidak dimunculkan.
Di sisi lain, karena komitmen dengan Paris Accord 2015, hujan yang sebetulnya bisa diatur dan dikendalikan tapi ternyata dibiarkan sehingga banyak penonton dan tamu yang kehujanan. Tentu fashion dan kemewahan juga muncul di Paris 2024.
Para peserta olimpiade yang datang di kota yang dikenal sebagai pusat mode dunia, tentu ingin tampil modis. Karena itu, dari berbagai lokasi, para peserta, termasuk yang siap bertanding di kolam renang, juga tampil modis.