Riset terbaru Boston Consulting Group menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah Indonesia pada 2020 akan mencapai 141 juta orang atau 53% dari jumlah penduduk. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga April 2017, total aset industri asuransi jiwa konvensional di Indonesia naik 20,14% menjadi Rp 423,69 triliun dibandingkan periode yang sama tahun 2016 sebesar Rp 352,64 triliun.
Berdasarkan data tersebut, nilai investasi terhadap reksadana yang merupakan portofolio investasi unit-inked mencapai Rp 103,44 triliun atau 25% dari total aset industri asuransi jiwa di Indonesia. Dari sini, FWD Life melihat peluang dan meluncurkan Bebas Optimal, produk asuransi jiwa yang dikaitkan dengan investasi (unit-linked) yang memberikan perlindungan jiwa komprehensif dengan investasi optimal jangka panjang.
FWD Life juga meluncurkan produk ini di tengah kondisi ekonomi makro dan pasar Indonesia yang semakin menarik menyusul Standard & Poor’s (S&P) yang memberikan peringkat layak investasi (investment grade) beberapa waktu lalu. Ini mengindikasikan potensi tingkat kepercayaan publik yang lebih tinggi terhadap produk unit-linked sebagai salah satu pilihan utama dalam mendapatkan perlindungan sekaligus juga investasi.
“Produk ini diluncurkan untuk memberikan pilihan perlindungan dan investasi bagi masyarakat Indonesia khususnya kelas menengah ke atas yang sadar investasi. Diharapkan, hal ini bisa memberikan sinyal bahwa kini adalah masa pertumbuhan yang menjanjikan bagi produk-produk unit-linked,” jelas Chief Product Proposition & Sharia FWD Life Ade Bungsu.
Untuk produk ini, Mitra strategis FWD Life, PT Schroder Investment Management Indonesia (“Schroder Indonesia”) akan dipercayakan untuk mengelola investasi BEBAS OPTIMAL. Bagi nasabah, ini akan menjadi sebuah kemudahan dan tanpa mengurangi proses diversifikasi pengelolaan risiko nasabah.
Executive Vice President Intermediary Business Schroder Indonesia Bonny Iriawan juga menyebutkan bahwa kondisi saat ini cukup baik untuk bisnis di atas. Sejumlah faktor telah mendorong kondisi pasar Indonesia berada dalam tren positif. Misalnya, kondisi pasar saham global yang kondusif serta fundamental makro ekonomi Indonesia terutama kenaikan surplus perdagangan, pengurangan defisit neraca berjalan, maupun peningkatan penerimaan fiskal.
“Belum lagi Indonesia yang baru saja meraih investment grade dari S&P dan pemerintah yang tengah gencar membangun infrastruktur,” kata Bonny.
Seluruh faktor positif tersebut mendorong masuknya dana asing (foreign inflows) sehingga membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melambung 11,5% sejak awal tahun 2017 (year-to- date). Namun, Bonny mengingatkan investor agar tetap mewaspadai berbagai faktor seperti perubahan kondisi politik nasional, keterbatasan stimulus fiskal dan moneter, serta kebijakan pemerintah Amerika Serikat dan China.
Meski demikian, investor masih berpotensi untuk dapat menikmati hasil dari penguatan modal di pasar modal Indonesia. Bonny menjelaskan, saat ini kenaikan IHSG di bursa masih lebih rendah dibandingkan Indeks di bursa beberapa negara lain seperti Korea Selatan, Singapura, Hong Kong, Filipina, dan India.
“Secara jangka panjang, masih terbuka potensi kenaikan harga saham di Bursa Efek Indonesia,” pungkas Bonny.
Editor: Sigit Kurniawan