Penyakit diabetes menjadi salah satu jenis penyakit yang ditakuti oleh masyarakat Indonesia, terlebih lagi bagi mereka yang memiliki berat badan berlebih (obesitas). Data yang diperoleh dari Accu Check mencatat bahwa ada sekitar 175 ribu orang meninggal pada tahun 2014 karena mengidap penyakit diabetes. Angka ini tentunya akan semakin bertambah jika masyarakat Indonesia belum sadar betul akan pentingnya menjalankan gaya hidup sehat, misalnya tidak bisa lepas dari merokok, makan tidak teratur dan juga tidak pernah berolahraga.
Menurut dr. Wismandari Wisnu, Staff Divisi Metabolik Endokrin FKUI/RSCM tingkat pasien diabetes Indonesia diramalkan akan mencapai 21,3 juta pada tahun 2020. Untuk itu, Wismandari beserta tim di dunia medis lainnya mulai menerapkan apa yang disebut dengan Diabetes Self-Management Education (DSME) dan Diabetes Self-Management Support (DSMS). Tujuannya adalah mendukung para penyandang diabetes agar lebih percaya diri dalam mengambil keputusan dan berani memecahkan masalahnya secara aktif dengan bantuan dokter.
“Pasien sekarang kita gandeng untuk lebih aktif. Bahkan, saya memberikan kontak pribadi untuk mempermudah pasien melakukan kontrol sehingga mereka tidak perlu kontrol ke rumah sakit sebulan sekali,” jelas Wismandari, pada acara press conference yang digelar oleh Accu Check di J. W Mariot Hotel, Jakarta, Rabu (04/11/2015),
Dengan begitu, baik pasien dan dokter sama-sama berperan aktif dalam proses penyembuhan. “Kami dorong pasien untuk melakukan tata laksana proses penyembuhan secara mandiri. Dalam artian, kami selaku dokter tidak hanya memberikan resep dan kemudian pasien mengikuti resep tersebut, namun banyak aktivititas di samping itu yang kami hasilkan dari diskusi bersama,” tutur Wisma. Dengan kata lain, pasien dibantu dokter mampu memilih sendiri proses penyembuhan yang sesuai dengan kemampuan mereka.
Di samping itu, Wisma menyadari bahwa penting bagi pasien diabetes untuk mulai melakukan cek kadar gula darahnya sendiri. “Dengan mengetahui kadar gula darah secara rutin, pasien mampu lebih menjaga gaya hidup mereka. Bahkan, kebiasaan ini mampu menghemat biaya cuci darah yang biasanya mencapai Rp 500 – Rp 800 per minggu,” imbuhnya.
Namun, sayangnya pihak pemerintah tidak mengimbangi program tata laksana mandiri ini secara maksimal. Pasalnya, menurut Wisma, segala kebutuhan seperti alat cek kadar gula darah dan strip yang digunakan sejauh ini masih berasal dari dana swadaya. “Pemerintah belum memasukkan alat ini pada program BPJS sehingga kami sangat berharap dukungan pemerintah agar segera memperhatikan masalah ini,” pungkas Wismandari.
Editor: Eko Adiwaluyo