Nama Holycow beberapa tahun belakangan ini cukup menjadi top of mind di benak konsumen, khususnya ketika Anda ingin menikmati steak wagyu dengan harga terjangkau. Di balik nama yang mulai besar itu, ada sosok Afit Dwi Purwanto yang berusaha untuk memasyarakatkan wagyu for everyone.
Namun, perjalanan karier Afit hingga menjadi seorang entrepreneur tak terjadi dalam waktu semalam. Banyak lika-liku yang terjadi di dalam kehidupannya, yang bahkan mematahkan semangatnya menjadi pengusaha. Apalagi, Afit juga menghadapi hadangan itu dari orang tuanya, khususnya ayahnya yang menginginkan Afit untuk menjadi seorang profesional dengan gaji yang pasti.
“Dari kuliah, saya selalu ingin independen. Tidak mau jadi buruh orang lain. Saya punya tekad bulat untuk jadi pengusaha,” tegas Afit.
Tekad menjadi pengusaha ini mulai ia rintis sejak masih menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Afit pernah menjual kaus distro sablonan. Bahkan, kaus yang ia buat itu sempat dipakai oleh salah satu VJ MTV. Namun sayang, Afit tidak pandai memutar uang lantaran terpengaruh gaya hidup anak remaja saat itu. Singkat kata, manajemen keuangan menjadi penyebab runtuhnya bisnis Afit tersebut.
Setelah menikah dengan Lucy Wiryono, ia makin mantap berbisnis. Ia pernah berbisnis kripik dan mendirikan trading company. Tapi, keduanya berakhir dalam kegagalan. Bahkan, pada tahun 2004, Afit mengaku tertipu lebih dari Rp 300 juta.
Dari dua kegagalan itu, ia mendapatkan dua pelajaran. Pertama, terpatok pada upaya meraih keuntungan besar dengan cepat. Kedua, tidak memahami seluk beluk bisnis yang ditekuni.
Ada Dua Holycow
Desember 2009 menjadi tonggak sejarah bagi Afit untuk kembali menjajal peruntungan di dunia bisnis. Berbekal hobi makan steik yang dikombinasikan dengan kemahirannya meramu masakan di dapur, merek Holycow pun akhirnya lahir. Dengan mengusung positioning wagyu for everyone, Afit ingin memasyarakatkan wagyu agar familier di lidah konsumen Indonesia.
Warung pertama terletak di Jalan Radio Dalam, di depan sebuah bengkel kaca mobil. Enam bulan berselang, Holycow berhasil membuka gerai permanennya di Senopati berkat kredit investasi yang diperoleh dari perbankan.
Klise memang, apabila visi dan misi yang tidak sama menjadi alasan untuk berpisah. Tapi, kenyataan pahit itu yang akhirnya dialami pula oleh Holycow. Pada Mei 2012, pihak Afit dan mitra bisnisnya sepakat untuk tidak lagi melanjutkan kerja sama, dan kedua belah pihak membesarkan merek ‘Holycow’ nya masing-masing.
“Pecah itu berat, tapi lebih berat lagi, kalau terus bersama tapi saling tidak percaya,” papar Lucy yang bertugas sebagai Marketing & Communication Manager dari bisnis suaminya ini.
Lucy melanjutkan, pemisahan pun dilakukan secara profesional dengan menggunakan jasa mediator bersertifikat dan notaris agar pembagian kepemilikan saham tercatat sah. Akibat hal itu, Afit mesti menanggung biaya pinalti dari ditutupnya gerai pertama Holycow di Singapura. Afit juga mesti membayar utang ke suplier.
Meski sama-sama menggunakan nama Holycow, Afit mesti melahirkan sebuah brand baru yang berbeda dari milik mitranya itu. Termasuk, tidak lagi menyebut gerainya sebagai TKP (Tempat Karnivora Pesta), melainkan menggantinya menjadi CAMP (CArnivores Meat-ing Point).
Untuk meningkatkan brand awareness, Afit melakukan sayembara logo bertajuk PEMILGO (Pemilihan Logo). Logo itu pun dibuat dan dipilih secara voting oleh netizen. Akhirnya, Pada Oktober 2012, Holycow Steakhouse by Chef Afit pun lahir.
“Orang tahu Holycow telah pecah kongsi. Ibaratnya, belum ada brand yang ingin operasi plastik, tapi wajahnya dipilih oleh orang lain. Kami berani lakukan itu agar konsumen aware dan menjadi bagian dari kelahiran kami,” papar Lucy.
Karena kemiripan itu sah di mata hukum, keduanya pun berhak bertarung di pasar. Sehingga, jalan paling jitu yang bisa dilakukan oleh pemilik merek adalah mempertegas logo brand-nya.
Di sinilah letak menariknya brand Holycow Steakhouse by Chef Afit. Ia memberikan kesadaran ke masyarakat untuk mengerti mana wagyu hasil racikan Afit dan mana yang bukan. Secara gamblang hal itu ditegaskan dalam brand-nya yang mencantumkan namanya sebagai chef. Artinya, Holycow yang lain bukan masakan Afit.
Penggunaan merek yang mirip oleh dua pebisnis yang berbeda sepertinya sudah banyak terjadi di industri makanan dan minuman. Kisah lama yang bisa dijadikan contoh adalah merek restoran ayam goreng asal Yogyakarta, yaitu Ayam Goreng Suharti.
Lantaran perceraian, sang suami mengembangkan merek Ayam Goreng Ny. Suharti berlogo ayam dengan huruf S di tengahnya. Sedangkan sang isteri, Suharti, mengembangkan merek Ayam Goreng Suharti berlogo dirinya.
Mulanya, berat bagi Afit untuk menjalani pemisahan itu. Ia mesti menanggung beban 28 pegawainya yang memutuskan untuk ikut bersama dirinya. Dengan hanya memiliki dua gerai saat itu, Afit mesti memberikan shift yang lebih pendek dan ekstra libur yang lebih panjang kepada pegawainya.
“Oversupply pegawai terjadi pada masa awal kami me-reset usaha kembali. Akhirnya, lewat angel investor, kami membuka gerai baru di Kelapa Gading. Tujuan awalnya, untuk menampung tenaga kerja kami,” timpal Afit.
Kendati sudah berjalan dua tahun paska bepisah, masih banyak konsumen yang belum tahu bahwa ada dua jenis Holycow di Indonesia. Menanggapi hal itu, Lucy bilang pihaknya akan terus mengomunikasikan hal tersebut jika diperlukan.
“Kami tidak mau jika kami melakukan hal buruk, mereka akan terkena dampak. Sebaliknya, jika kami melakukan hal yang baik, mereka yang dapat kreditnya. Intinya, kami selalu terbuka soal apa yang terjadi pada kami di masa lalu,” kelakar pembawa acara MotoGP di Trans7 ini.
Menurut Yoris Sebastian, Founder OMG Consulting, suatu kewajaran jika visi dan misi yang tidak sama antara dua pendiri, membuat bisnis pecah. Bahkan, perusahaan sekaliber Hard Rock Cafe yang didirikan oleh Peter Morton dan Isaac Tigret pun akhirnya pecah lantaran visi yang berbeda.
“Sebuah bisnis memang bisa pecah karena rugi maupun sukses sekali. Kejadian serupa juga terjadi pada Ayam Suharti,” kata Yoris.
Sebagai orang yang mengetahui pertama kali akan kehadiran Holycow, Yoris merasa pecah kongsi yang terjadi pada kubu Afit-Lucy dan Wynda-Wanda ditangani dengan baik, dan keduanya pun berjalan sama baiknya. Ia menekankan, perubahan logo dan merek yang dilakukan Afit-Lucy merupakan langkah yang tepat.
“Sehingga, walau mirip, pelanggan Holycow seharusnya bisa membedakan keduanya,” ujarnya.
Yoris pun berpesan agar kedua belah pihak memanfaatkan modal yang ada untuk terus melakukan inovasi seperti saat mereka memulai usaha bersama dulu. “Kuncinya di inovasi dan perbaikan mutu. Usaha sebaiknya adalah naik kelas terus, sehingga para follower yang hanya copy-paste tidak akan berhasil mengejar,” terangnya.