Sektor properti tahun 2016 dinilai akan mengalami kebangkitan kembali paska penurunan penjualan tahun lalu. Hal ini salah satunya dipicu oleh Program Nasional Pembangunan Satu Juta Rumah yang dicanangkan pemerintah dalam rangka meminimalisir backlog.
Kendati dianggap potensi yang baik, namun program tersebut terkendala dalam hal skema pembiayaan. Pasalnya, 70% dari angkata kerja yang berjumlah 118 juta jiwa saat ini didominasi sektor informal. Sedangkan hanya 30% yang bekerja di sektor formal.
Menurut Aviliani, sektor informal sampai saat ini belum tersentuh UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Padahal, mereka memiliki kemampuan untuk membeli rumah.
“Secara legal, mereka tidak bisa memberikan slip gaji. Seharusnya, skema pembiayaan rumah bagi sektor informal dibicarakan antara pemerintah, pengembang, dan perbankan. Ini yang belum dibicarakan,” ujar pengamat ekonomi Aviliani di Indonesia Property Forum 2016, di Jakarta, Kamis, (21/1/2016).
Pendanaan yang disediakan untuk rumah terjangkau itu, terdiri dari beberapa skema antara lain Fasilitas Likuiditas Pembiayaan perumahan (FLPP) dan Subsidi Selisih Bunga (SSB). Untuk rumah yang dibiayai dengan FLPP, masyarakat bisa membayar uang muka hanya 1%, bunga cicilan ringan hanya 5%, hingga subsidi uang muka Rp 4 Juta.
“Masalahnya juga tidak ada yang menjamin. Kalau inflasi tinggi, jangan-jangan dia (masyarakat) tidak bisa membayar. Maka itu, butuh penjaminan,” tutur Aviliani.
Pada tahun 2015 lalu, pemerintah mengalokasikan dana FLPP sebesar Rp 5,1 triliun. Sedangkan, tahun 2016 ini, nilainya naik 80% menjadi Rp 9,23 triliun. Uang sebesar itu digunakan untuk membiayai 87.390 unit rumah.
Editor: Sigit Kurniawan