Berdasarkan data Asosiasi Fintech Indonesia bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada Desember 2019, 43% dunia fintech Indonesia didominasi oleh produk peer-to-peer (p2p) lending, sementara kategori insurtech hanya sebesar 3%. Hal ini mendorong terjadinya kolaborasi antar kedua fintech tersebut untuk memajukan sektor teknologi finansial.
Tommy Martin, Co-Founder dan Chief Operating Officer Qoala mengatakan, kolaborasi antar perusahaan p2p lending dengan insurtech maupun fintech payment dapat memperbaiki iklim inklusi keuangan di Indonesia, terutama di situasi bisnis yang menantang seperti pandemi ini.
“Kolaborasi dengan insurtech tak hanya sebatas melindungi p2p lending dan pendana atau lender-nya, Qoala sebagai perusahaan insurtech juga dapat memberikan solusi produk asuransi bagi karyawan dan infrastruktur p2p lending yang dapat memberikan manfaat untuk menunjang bisnis perusahaan,” jelas Tommy.
Selain bekerja sama dengan insurtech perusahaan p2p lending juga perlu bekerja sama dengan institusi keuangan konvensional. Ekonom Josua Pardede mengatakan, kinerja p2p lending yang semakin baik pada tahun 2020 harus dijadikan momentum bagi perbankan untuk bekerja sama dengan p2p lending.
“Perbankan perlu berkolaborasi dengan p2p lending, bukan melihatnya sebagai lawan. Justru harus kolaborasi, melengkapi kesenjangan karena tidak semua bank ahli dalam menyasar segmen Usaha Kecil Menengah (UKM),” kata Josua.
Lebih lanjut, Josua menjelaskan, peforma perusahaan p2p lending pada tahun 2020 cukup bagus dengan pertumbuhan lebih dari 100% per tahun. Pada September 2020, portofolio kredit p2p lending mencapai Rp 128,7 triliun.
“Perusahaan p2p lending juga dapat menjangkau segmen UKM yang berkontribusi 60% pada pertumbuhan ekonomi dan memudahkan mereka untuk menjangkau layanan pembiayaan,” tutup Josua.
Editor: Ramadhan Triwijanarko