Pelaku Usaha Tak Perlu Khawatirkan MEA 2015

marketeers article
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang digadang-gadang bergulir pada 31 Desember 2015 masih dianggap sebagian pelaku usaha sebagai sebuah ancaman. Padahal, banyak peluang yang bisa didapat dari perjanjian antarnegara se-Asia Tenggara itu.
 
Menurut Sekretaris Jenderal Indonesia Marketing Association (IMA) Cabang Jakarta Pepey Riawati Kurnia, MEA memang selama ini dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi ancaman dan dimensi peluang. Mereka yang melihatnya sebagai ancaman, kata Pepey, menganggap Indonesia hanya sebagai pasar bagi negara lain. Di sisi lain, masih banyak pelaku usaha yang menjadikan MEA sebagai sebuah peluang, khususnya terkait transfer ilmu yang terjadi di pasar.
 
“Hadirnya MEA sebetulnya bisa dijadikan pembelajaran bagi para pelaku usaha dalam negeri untuk dapat menciptakan produk atau jasa yang sama atau lebih baik dari milik negara lain. Persaingan yang tinggi dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan kualitas, baik dalam produk/jasa, sistem, maupun sumber daya. Jadi, menurut saya, MEA tidak perlu dikhawatirkan,” katanya dalam IMA Marketeers Forum, di Philip Kotler Theater, MarkPlus Jakarta, Rabu (3/2/2015).
 
Kendati demikian, Pepey mengakui bahwa tidak semua pelaku usaha terbebas dari ancaman MEA. Katanya, ada beberapa industri yang bakal cerah jelang MEA. Namun, ada pula yang akan menemui kendala. Industri pangan adalah salah satu yang menurut Pepey akan berkembang dalam konteks MEA. Asalkan, lanjutnya, pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan instansi yang mengatur regulasi impor. mendukung sepenuhnya industri pangan dalam negeri. 
 
“Pemerintah juga harus memiliki kekuatan untuk melakukan penyaringan. Banyak produk asing masuk ke Indonesia dengan tidak menggunakan dasar aturan yang jelas. Pemerintah harus tegas di tahap itu,” ungkapnya.
 
Pepey menambahkan, industri tekstil nasionallah yang akan mengalami tekanan perdagangan bebas. Sebelum MEA lahir pun, industri ini sudah terpuruk akibat serbuan produk tekstil dari Tiongkok. Ditambah lagi, dengan alasan harga yang lebih murah, konsumen malah mempermudah penetrasi tekstil Tiongkok ke dalam negeri dengan cara membelinya.
 
Bagi Pepey, dalam menghadapi MEA, pelaku usaha harus memiliki daya untuk melakukan inovasi. Inovasi sendiri terbagi dalam tiga macam, yaitu inkremental, moderat, dan radikal. Ia bilang, 70% inovasi yang dilakukan pelaku bisnis di dalam negeri adalah inkremental, seperti yang dilakukan oleh pelaku usaha pangan. Selain karena sifatnya yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak, industri pangan juga memiliki tingkat pertumbuhan bisnis yang tinggi. Beberapa inovasi inkremental di ranah pangan misalnya dengan mengubah kemasan, menambah bahan baku, atau menciptakan aroma baru.
 
“Ada tiga kunci inkremental, yaitu  lebih cepat, lebih murah, atau lebih mudah. Sedangkan inovasi moderat adalah yang tidak hanya fous pada produk, tetapi juga fungsi. Sedangkan inovasi radikal biasanya memakan waktu hingga beratahun-tahun dan biasanya dilakukan oleh perusahaan farmasi,” kata dosen pemasaran ini. 
 
Jika MEA kerap dikaitkan dengan perdagangan bebas produk/jasa, bagaimana dengan Sumber daya Manusia (SDM)? Menjawab hal itu, Pepey mengakui bahwa meskipun SDM Indonesia sudah berkembang baik, namun masih tertinggal oleh Korea Selatan dan Vietnam. Pepey mengutarakan beberapa alasan, yaitu lambatnya pembangunan kompetensi SDM dalam negeri, kurangnya kepekaan akan tuntutan kemendesakan, serta kecenderungan memiliki sifat malas. 
 
“Apabila dibandingkan dengan Korea, di sana etos kerjanya luar biasa. produktivitasnya tinggi. Dikhawatirkan, bursa kerja Indonesia akan dibanjiri SDM ASEAN. Namun, jarang masyarakat Indonesia yang mampu melakukan invasi balik ke negara ASEAN lain,” tuturnya.
 
Karena itu, pemerintah dapat membuat seperangkat kebijakan agar tenaga kerja asing tidak terlalu mudah mencaplok bursa tenaga kerja domestik. “Mengacu dengan apa yang terjadi di Malaysia. Orang Melayu selalu iri dengan orang Tiongkok dan ras lainnya. Pemerintah Malaysia pun campur tangan dengan membuat kebijakan. Misalnya, dengan mewajibkan setiap pelaku bisnis memperkerjakan sekian persen orang Melayu. Indonesia bisa mencontoh itu,” tutur Pepey yang juga sebagai Kordinator Pusat Riset dan Kasus PPM Manajemen.
 
Apalagi, tambahnya, upah buruh dalam negeri cukup tinggi dibandingkan Vietnam dan Bangladesh. Hal ini amat mempengaruhi minat investor asing untuk membuka pabriknya di Indonesia.

Related