Indonesia diproyeksikan bisa menjadi negara adidaya energi hijau atau energi baru terbarukan (EBT) di masa depan. Hal ini lantaran melimpahnya bahan baku untuk diolah menjadi energi ramah lingkungan yang dapat digunakan untuk industri maupun rumah tangga.
Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch menilai potensi EBT yang tersedia memang begitu besar. Hanya saja, sejauh ini pemerintah masih belum mengoptimalkan potensi tersebut dan masih bergantung pada energi kotor batu bara. Potensi semakin besar dengan melimpahnya nikel sebagai bahan baku baterai lithium yang digunakan pada kendaraan listrik.
“Belum lagi kalau kita bicara nuklir. Indonesia punya cadangan thorium dan juga punya cadangan uranium yang bisa dikatakan sangat besar dan sangat mampu untuk melistriki seluruh negeri secara keseluruhan. Semua itu dengan catatan bisa dioptimalisasi dan dimanfaatkan,” ujar Mamit kepada Marketeers, dikutip Rabu (8/6/2022).
Dari penuturan Mamit, tidak optimalnya pemanfaatan energi hijau lantaran besarnya modal yang dibutuhkan untuk beralih menuju EBT. Untuk memensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, pemerintah setidaknya membutuhkan modal sebesar Rp 3.500 triliun. Dengan demikian, memerlukan kerja sama seluruh pemangku kepentingan dalam dunia usaha, termasuk peran swasta untuk berinvestasi.
Agar optimalisasi dapat berjalan dengan baik, langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah membuat regulasi yang konsisten dari pemerintah pusat, kementerian dan lembaga, hingga pemerintah daerah. Adanya kepastian hukum akan menarik minat pemodal menanamkan investasi pada sektor EBT. Sembari menunggu disahkannya rancangan undang-undang (RUU) EBT, perlu kiranya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai entry point pengembangan EBT.
Tak hanya itu, pemerintah diminta pula untuk mempermudah proses perizinan yang dibutuhkan. Meskipun saat ini Kementerian Investasi mengklaim telah memangkas proses izin melalui layanan online system submission (OSS), Mamit menilai prosesnya masih terlalu panjang lantaran melibatkan banyak kementerian dan lembaga (K/L). Kemudian, setelah regulasi telah selesai, upaya terakhir, yakni memberikan edukasi kepada masyarakat terkait dengan peralihan menuju EBT.
“Jangan sampai nanti dengan kita bertransisi energi ternyata EBT ini tidak mampu menyerap tenaga kerja atau tidak mampu memberikan multiplier effect seperti energi fosil. Itu juga hal-hal yang harus diperhatikan nanti termasuk soal alih teknologi. Ketika investasi masuk, nanti alih teknologi juga menjadi keharusan,” tuturnya.
Lebih lanjut, Mamit menjelaskan, PLTS merupakan sektor yang paling dekat untuk dilakukan transisi energi. Pertimbangannya, yakni teknologinya yang semakin berkembang dikombinasikan dengan potensinya yang sangat besar. Sebagai negara tropis, seluruh wilayah Indonesia dapat tersinari matahari selama satu tahun penuh yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkit.
Setelah PLTS, menempati urutan kedua terdekat untuk transisi energi adalah geothermal. Dengan banyaknya gunung api di seluruh wilayah dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik. Lalu, urutan ketiga dan empat adalah PLTA dan bioenergy.
“Kalau untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga angin masih belum optimal karena tergantung dari arah mata anginnya. Di wilayah Indonesia itu kecepatan anginnya tidak sekuat Eropa atau Amerika Serikat (AS) sehingga tidak bisa mengoptimalisasi turbin yang ada. Namun, perlu kiranya pemerintah juga mengembangkan sektor ini,” katanya.
Editor: Ranto Rajagukguk