Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menggulirkan wacana untuk mengatur kembali diskon premi asuransi. Beleid baru ini mengatur yang mengatur diskon premi bagi lini bisnis asuransi kendaraan bermotor. Aturan itu akan menyebutkan bahwa diskon akan diberikan kepada nasabah yang tidak melakukan klaim hingga kontrak polis berakhir.
Sejauh ini, aturan itu telah menimbulkan pro kontra di antara para pemain di asuransi kendaraan bermotor. Pasalnya, bila aturan ini diterapkan belum tentu semua perusahaan asuransi mau menerapkan. Dan, tidak ada yang bisa mengontrol aturan tersebut diterapkan oleh semua pelaku.
Selain itu, aturan tersebut dipandang terlalu rigid dalam mengatur bisnis asuransi. Terlalu, mengatur ke hal yang sangat teknis. Hal itu justru bisa menghambat kreativitas perusahaan. “Aturan rigid yang diterapkan oleh OJK itu harusnya mengenai kesehatan perusahaan. Bagaimana perusahaan asuransi bisa beroperasi dengan platform yang sama dalam hal pembukuan, pelaporan, dan lainnya,” kata Indra Baruna, Chief Executive officer Adira Insurance di Jakarta, awal bulan Juni lalu.
Ia menambahkan, bila pengaturan rigid itu masuk ke wilayah bisnis, maka susah bagi perusahaan asuransi melakukan differensiasi. Sehingga, akan lebih baik bila terkait dengan bisnis itu mengikuti dinamika pasar.
Di sisi lain, bila batasan diskon premi itu 10%, bagaimana perusahaan asuransi menentukan no claim bonus ini untuk orang yang tingkat kecurangannya berbeda-beda. Nah, sebelum ada aturan ini seharusnya pemerintah mendorong terlebih dulu adanya polis third party liability.
Sekarang ini, besaran premi asuransi kendaraan bermotor hanya ditentukan oleh jenis kendaraan. Semakin mahal atau kapasitas mesinnya semakin besar, harga premi pun semakin tinggi. Padahal, bila dikaitkan dengan tingkat keselamatan berlalu lintas justru tergantung pada perilaku pengendaranya.
“Perilaku pengendara lebih menentukan keselamatan dibanding jenis mobilnya. Satu mobil yang sama dikendarai oleh orang yang berbeda, tingkat keselamatan di jalannya berbeda ,” kata Indra menambahkan bahwa pengaturan asuransi kendaraan bermotor itu di masa mendatang harusnya mengatur juga sisi pengendara, bukan hanya jenis kendaraan. Bagaimana bisa mendapat data perilaku pengemudi? Menurutnya, pemerintah harus mendorong adanya polis third party liability.
Setiap pengemudi mobil yang mencari SIM harus memiliki polis ini. Sehingga, bila terjadi kecelakaan yang melibatkan orang lain atau objek lain di luar kendaraan bisa diganti. Nah, data setiap pengemudi yang melakukan klaim setelah terjadi kecelakaan harus terdata dengan rinci.
Lebih sempurna lagi, bila data-data tersebut dikumpulkan dalam satu sistem oleh lembaga khusus. Sehingga, perusahaan asuransi bisa menelusuri riwayat berkendara setiap orang dan dijadikan pertimbangan untuk memberikan besaran premi dan diskon premi asuransi mobilnya. “Kalau di bank, kan, ada BI Checking. Kenapa di industri asuransi tidak bisa diterapkan pengecekan seperti itu,” pungkas Indra.