Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai industri ojek online merupakan bisnis yang gagal lantaran tidak bisa memberikan kesejahteraan bagi para mitranya. Lembaga mencatat, rata-rata pendapatan mitra pengemudi ojek online sebesar Rp 3,5 juta per bulan dengan jam kerja hingga 12 jam sehari.
Djoko Setijowarno, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat mengatakan, untuk mendapatkan penghasilan Rp 3,5 juta biasanya para pengemudi harus bekerja selama 30 hari sebulan tanpa adanya hari libur layaknya pekerja formal. Tingginya potongan biaya sewa aplikasi dan terus meroketnya harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi membuat pendapatan semakin menurun.
“Transportasi daring adalah bisnis gagal, driver-nya kerap mengeluh dan demo. Sementara pengemudi ojek daring sebagai mitra tidak akan merasakan peningkatan pendapatannya karena tergerus oleh potongan-potongan fasilitas aplikasi yang sangat besar,” kata Djoko melalui keterangannya, dikutip Selasa (11/10/2022).
Dengan rata-rata pendapatan di angka Rp 3,5 juta per bulan tidak sesuai dengan janji aplikator angkutan berbasis daring pada tahun 2016 yang mencapai Rp 8 juta per bulan. Dia menilai sulit menjadikan ojek online sebagai profesi untuk menjadi sandaran hidup.
Apalagi, kata Djoko, pihak aplikator tidak membatasi jumlah pengemudi, menyebabkan ketidakseimbangan supply dan demand. Alhasil, para pengemudi bekerja tidak dalam kepastian seperti tidak adanya jaminan kesehatan, jaminan hari tua, dan jaminan hari libur.
Padahal, berdasarkan survei Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan yang melibatkan 2.016 responden mitra ojek online sebanyak 81% dijalankan oleh laki-laki dengan usia terbanyak 20 hingga 30 tahun dengan persentase 40,63%. Sebagian besar mereka menjadi mitra kurang dari satu tahun sebanyak 39,38%.
Status sebagai pekerjaan utama sebagai ojek online sebesar 54% dan sebagai pekerjaan sampingan 46%. Dari survei itu mendapati hasil bahwa pendapatan per hari pengemudi hampir sama dengan biaya operasionalnya. Terbanyak rata-rata pendapatan per hari Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu sebesar 50,10% dan biaya operasional per hari terbanyak kisaran Rp 50 ribu – Rp 100 ribu sebesar 44,10%.
“Jika ingin sebagai angkutan umum, otomatis segala persyaratan dan hal-hal yang berlaku bagi angkutan umum juga berlaku pula bagi sepeda motor yang berfungsi sebagai angkutan umum, seperti wajib melakukan uji berkala (kir), wajib dilengkapi perlengkapan, SIM C Umum, plat nomor kendaraan berwarna kuning. Selain itu, tarif ditetapkan perusahaan angkutan umum atau bukan dari aplikator seperti sekarang atas persetujuan pemerintah,” ujarnya.
Djoko mencontohkan, kebijakan ojek sebagai angkutan umum telah diterapkan di Kabupaten Asmat, Papua sejak tahun 2011 yang diatur melalui Peraturan Bupati. Di sana, ojek menggunakan kendaraan pelat kuning. Adapun kendaraan yang digunakan sepeda listrik, karena hampir 100% kendaraan di Kabupaten Asmat menggunakan kendaraan listrik.
“Jika pemerintah ingin melindungi warganya, dapat dibuatkan aplikasi dan diserahkan ke daerah untuk dioperasikan. Seperti halnya yang dilakukan Korea Selatan membuat aplikasi untuk usaha taksi. Dalam upaya untuk melindungi sopir taksi yang kebanyakan tidak berbahasa Inggris dan rata-rata sudah berusia tua,” pungkasnya.
Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz