Pada tahun 2045 Indonesia akan berusia 100 tahun atau yang kerap dikenal dengan Indonesia Emas. Tahun 2045, Indonesia akan didominasi oleh generasi yang merek digital, sehingga Indonesia Emas adalah harapan untuk mencapai Indonesia yang maju, berkualitas dan berdaya saing global. Salah satu langkah untuk mewujudkannya yakni dengan membekali pendidikan masyarakat.
Jacky Mussry, CEO & Dean MarkPlus Institute menyampaikan bahwa berdasarkan survei dari MarkPlus Institute, mayoritas responden setuju bahwa pendidikan vokasi fokus pada keterampilan atau skill. Hasil dari survei juga menunjukkan bahwa mereka mengetahui pendidikan vokasi melalui lingkungan sekitar, bahkan media sosial. Itu artinya, lembaga pendidikan khususnya perguruan tinggi perlu secara agresif mengkomunikasikan terkait pendidikan vokasi untuk menyampaikan kualitas agar diterima oleh masyarakat.
“Berdasarkan survei, masih banyak yang memilih pengusaha sebagai cita-cita. Oleh sebab itu, pendekatan entrepreneurial adalah cara yang tepat untuk pendidikan vokasi,” kata Jacky pada acara Marketeers Goes To Campus Episode 26, Sabtu, (02/10/2021).
Prof. Dr. Anwar Ma’aruf selaku Dekan Fakultas Vokasi Universitas Airlangga memaparkan banyak masyarakat mengira bahwa pendidikan vokasi tidak bisa melanjutkan pendidikan tinggi lainnya. Padahal, setelah lulus diploma mereka dapat lanjut ke magister hingga S3 terapan.
“Fakultas vokasi di Universitas Airlangga termasuk fakultas yang baru, didirikan pada tahun 2014. Namun telah memiliki 20 program studi di berbagai bidang seperti kesehatan, bisnis, dan teknik. Kami memanfaatkan media massa, media sosial, hingga saluran televisi untuk menyampaikan kepada masyarakat pendidikan vokasi saat ini menjadi tumpuan oleh pemerintah dalam melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap dan terampil kerja,”ujar Anwar.
Dr. Ir. Efriyani Sumastuti selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas PGRI Semarang menambahkan pendidikan adalah kunci untuk bisa melahirkan SDM terampil dan berkualitas. Universitas PGRI dasarnya adalah fokus pada kependidikan, namun di tahun 2012 menghadirkan berbagai fakultas nonkependidikan. Ia melihat persaingan ke depan akan begitu ketat dan bahwa ekonomi kreatif dan digitalisasi mau tidak mau harus diterapkan pada kurikulum di Universitas PGRI.
“Kurikulum yang kami gunakan dalam proses pembelajaran harus menyesuaikan dengan kondisi yang dibutuhkan untuk masa depan. Oleh sebab itu, pada tahun 2017 dan 2018 kami menyusun kurikulum dengan melibatkan stakeholder seperti dinas ketenagakerja, Gerakan Nasional Indonesia Kompeten (GNIK) dan beragam industri,” ungkap Efriyani.
Editor: Eko Adiwaluyo