Gejolak ekonomi global serta daya beli konsumen lokal yang menurun menuntut perusahaan makanan dan minuman untuk menggali strategi baru demi mempertahankan pertumbuhan. Beban tersebut nampaknya semakin berat ketika wacana pengenaan cukai terhadap minuman bersoda dan berpemanis mengemuka kembali.
Desas-desus cukai bagi minuman bersoda memang santer terdengar sejak tahun 2012. Wacana tersebut kembali muncul tahun ini, dikala Pemerintah Jokowi-JK menargetkan peningkatkan pendapatan sektor pajak bagi negara. Pemerintah dituntut untuk melakukan ekstensifikasi sumber pajak di luar sektor-sektor tradisional yang menjadi penyumbang terbesar, seperti cukai tembakau, pajak migas, dan komoditas.
Sebab itu, pemberian cukai bagi produk minuman berkarbonasi (soda) dan berpemanis menjadi salah satu pemasukan pajak baru yang menggiurkan bagi negara. Cukai tersebut sebenarnya juga mengintai produsen bumbu penyedap atau MSG.
Pasalnya, dengan skema penerapan cukai untuk minuman berkarbonasi dan pemanis mulai Rp 1.000 hingga Rp 5.000 per liter, potensi penerimaan negara sebesar Rp 970 miliar – Rp 3,95 triliun.
Tentu saja, wacana ini menuai penolakan bagi pemain industri tersebut beserta asosiasinya, yaitu Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim), dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Menurut mereka, regulasi tersebut bukan kebijakan yang tepat dan bertentangan dengan kebijakan deregulasi Pemerintah Jokowi-JK yang sedang menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional.
“Ini akan menjadi aturan kontradiktif. Pemerintah akan merugi karena PPN dari sektor makanan minuman akan turun, yang nilainya lebih tinggi daripada cukai yang didapat pemerintah itu,” kata Triyono Prijosoesilo, Ketua ASRIM di Jakarta, Selasa, (15/12/2015).
Triyono mengatakan, 60% produk minuman bersoda dan berpemanis dijual oleh pedagang informal, yang mana produk tersebut menyumbang 40% dari omzet mereka. “Ada sekitar 130.000 tenaga kerja yang terserap dari sektor minuman dalam kemasan. Multiefeknya bisa empat kali lipat, atau sudah jutaan orang,” terangnya.
Dia bilang, kalau cukai ini diimplementasikan, yang akan menanggung bebannya adalah konsumen. Sebab, di tengah daya beli menurun, produsen tidak ada jalan lain kecuali menaikkan harga. Padahal, konsumsi minuman tersebut hanya menyumbang 6,5% dari kebutuhan rata-rata kalori harian Indonesia yang sebesar 2.200 kalori
“Jika minuman berkarbonasi naik Rp 3.000, maka permintaan akan turun 64,9%. Dan ini akan mempengaruhi kategori minuman yang lain, seperti minuman isotonik turun 14,7% dan teh dalam kemasan turun 18,6%,” ungkap Tri mengutip laporan LPEM-FEUI tentang Dampak Pengenaan Cukai Pada Minuman Berkarbonasi.
Di sisi lain, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman menjelaskan, industri minuman selama Q1-Q2 2015 tumbuh karena harga, bukan volume. Namun, pada Q3-Q4 pertumbuhan volume sudah mulai terlihat. “Jangan sampai momentum perbaikan ini dihajar oleh kebijakan negara,” tegasnya
Dia juga menampik tuduhan bahwa minuman bersoda dan berpemansi menjadi penyebab satu-satunya diabetes, obesitas, dan penyakit menular tidak mematikan lainnya. Pasalnya, dia yakin tidak ada satu penelitian yang menyebut minuman berpemanis dan soda sebagai sumber utama masalah tersebut.
“Kalau kita mau mengendalikan konsumsi gula, yang hadus dilakukan adalah edukasi. Kami siap untuk itu (edukasi),” papar Adhi.
Editor: Sigit Kurniawan