Maraknya penipuan di ranah keuangan digital menjadi perhatian serius yang seharusnya diimbangi dengan kebijakan yang adaptif. Kebijakan pemerintah yang adaptif dengan perkembangan teknologi diyakini dapat meminimalkan dampak negatif dari penyalahgunaan teknologi.
Hal ini dijelaskan oleh Kartina Sury, Senior Fellow Center for Indonesian Policy Studies (CIPS). Ia menilai, perkembangan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dan emerging technologies yang ada membawa tantangan baru dalam bentuk ancaman siber.
“Bersamaan dengan pesatnya perkembangan AI dan emerging technologies, maka kecakapan pemanfaatan teknologi digital perlu terus dilakukan secara kontinyu dan menjangkau target usia serta masyarakat yang luas sehingga dapat terus memacu proses critical thinking pengguna,” kata Kartina dalam siaran pers kepada Marketeers, Selasa (21/5/2024).
BACA JUGA: CIPS: Migrasi Data TikTok ke Tokopedia Harus Utamakan Aspek PDP
Ancaman ini termasuk penyalahgunaan teknologi AI yang berpotensi meningkatkan kejadian penipuan digital. Baru-baru ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap beberapa modus penipuan baru di sektor keuangan, salah satunya adalah pemanfaatan pinjaman online (pinjol) ilegal.
Dihimbau, masyarakat perlu berhati-hati ketika rekening mereka mendapatkan transferan uang pinjaman padahal tidak pernah melakukan permohonan pinjol.
Menurut Kartina, modus penipuan oleh pinjol ilegal ini dikategorikan sebagai kejahatan siber yang mengangkat permasalahan terkait keamanan data dan pentingnya menjaga keamanan data pribadi menjadi masalah utama.
BACA JUGA: 3 Tips Menghindari Penipuan Online, Waspada Ada Modus Baru
Di satu sisi, teknologi telah menjadi alat pendukung berkembangnya modus penipuan dan memungkinkan terjadinya rekayasa sosial melalui phishing dan impersonation, serta loan apps masking.
Phishing adalah kejahatan digital yang menargetkan informasi atau data sensitif korban melalui e-mail, unggahan media sosial, atau pesan teks. Sementara impersonation adalah modus penipuan digital yang berkedok meniru pihak resmi untuk mengelabui korban agar merespons dan membocorkan informasi pribadi.
Selain menghadapi tantangan penipuan, kondisi literasi digital dan literasi keuangan masyarakat Indonesia juga perlu mendapat perhatian.
Berdasarkan data OJK 2022, tingkat literasi produk keuangan tertinggi masih pada produk perbankan sebesar 49,93%. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan literasi antara produk perbankan dan produk keuangan lainnya, seperti asuransi (31,72%), dana pensiun (30,46%), pasar modal (4,11%), lembaga pembiayaan (25,09%), pegadaian (40,75%), fintech (10,90%), dan lembaga keuangan mikro (14,44%).
BACA JUGA: Jakarta Marketing Week 2024 Dorong Impact pada Marketing di Era Digital
Di sisi literasi digital, berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, pada tahun 2022, Indonesia berada pada kategori sedang.
Karenanya, pemerintah telah menjalankan Program Literasi Digital untuk meningkatkan kecakapan pada empat pilar literasi digital yaitu digital skills, digital safety, digital culture, dan digital ethics. Untuk mencegah penipuan digital, masyarakat perlu memahami prinsip Pahami, Perhatikan, Pastikan untuk lebih waspada.
Selain itu, masyarakat juga harus terus mengikuti perkembangan siber yang terjadi dan memperhatikan petunjuk yang diberikan oleh Pelaku Industri Keuangan terkait Tata Cara Menjaga Keamanan dan Kerahasiaan.
Bagi pemerintah dan OJK, penting untuk terus menerus mengembangkan dan memperkuat keamanan siber, serta mengawasi dan mengembangkan kebijakan-kebijakan yang dapat melindungi konsumen dan data pribadi.
Editor: Eric Iskandarsjah