Pernahkah Anda melihat seseorang yang wajahnya sangat mirip dengan teman, saudara, atau bahkan selebritas, meski tidak memiliki hubungan keluarga? Fenomena ini belakangan marak dijadikan ajang tren look alike.
Di Indonesia, misalnya, ada kompetisi Nicholas Saputra Look Alike yang sempat menghebohkan jagat maya. Kontes serupa juga diadakan di luar negeri yang mencari sosok mirip Timothée Chalamet dan Zayn Malik di New York, Paul Mescal di Dublin, dan Harry Styles di London.
Ternyata, tren look alike memiliki penjelasan ilmiah. Profesor neurobiologi di Cornell University, Michael Sheehan, dalam laman Live Science menjelaskan bahwa kemiripan ini bisa terjadi karena gen yang mengatur fitur wajah manusia jumlahnya terbatas.
BACA JUGA: Waspada! Earbuds Bisa Sebabkan Telinga Berdarah karena 5 Hal Ini
Sheehan mengibaratkan genetik seperti setumpuk kartu; jika Anda mengocoknya cukup sering, kombinasi yang sama bisa muncul lagi.
Meski demikian, gen yang memengaruhi bentuk wajah sangat banyak dan kompleks, mulai dari struktur tulang hingga warna kulit, rambut, dan mata.
Kemiripan wajah tanpa hubungan darah ini seringkali ditemukan di antara orang-orang dari etnis atau asal-usul yang sama. Misalnya, orang Eropa Utara memiliki ciri fisik yang identik berupa rambut pirang dan kulit terang.
Menurut Arthur Beaudet dari Baylor College of Medicine, orang dengan nenek moyang yang sama biasanya memiliki lebih banyak kesamaan genetik, meski mereka tidak saling mengenal. Namun, pola ini mulai berubah dengan adanya globalisasi.
BACA JUGA: Mau Ikut Festival Lari? Lakukan Hal Ini untuk Kurangi Bahaya Polusi Udara
Dulu, orang cenderung menikah dalam kelompok etnis yang sama, namun saat ini, perkawinan antarbudaya semakin umum. Inilah yang mencampur garis keturunan genetik dan menciptakan lebih banyak variasi.
Dengan populasi dunia yang kini lebih dari 7 miliar, sangat mungkin ada seseorang di luar sana yang wajahnya hampir sama dengan Anda. Jadi, jika Anda bertemu dengan orang asing yang terlihat seperti “kembaran” Anda, itu bukan kebetulan belaka.
Fenomena tersebut adalah hasil dari kombinasi genetik, evolusi, dan sejarah panjang migrasi manusia.
Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz