Perajin Nusantara Perlu Cantumkan Indikasi Geografis

marketeers article
BANJARNEGARA, JATENG, 23/1 PERAJIN POCI. Seorang perajin menyelesaikan proses pembuatan poci yang terbuat dari tembikar dan biasanya digunakan untuk menyeduh teh, di sentra kerajinan keramik Usaha Karya di Desa Purwareja Klampok, Klampok, Banjarnegara, Sabtu (23/1). Perajin keramik di sekitar wilayah Purwareja Klampok, Banjarnegara, yang merupakan pemasok poci terbesar se Indonesia dengan kapasitas produksi mencapai 30.000 set per bulannya merasa terancam mengadapi persaingan dengan produk China dan meminta pemerintah secepatnya mengatur regulasi yang melindungi industri tersebut. FOTO ANTARA/Idhad Zakaria/ss/NZ/10

Perajin nusantara dihimbau Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk mencantumkanindikasi geografis pada produk mereka. Hal ini dilakukan guna memacu Industri Kecil dan Menengah (IKM) di Tanah Air agar lebih meningkatkan daya saing produknya sehingga mampu kompetitif baik di pasar domestik maupun ekspor,sekaligus menghindari pemalsuan.

“Dengan indikasi geografis, perajin dapat terlindungi dari pemalsuan produk. Perajin juga bisa meningkatkan daya tawar jadi lebih tinggi. Karena itu, kami dorong ke arah sana,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka (IKMA) Kemenperin Eddy Siswanto di Jakarta, Kamis (11/04/2019).

Indikasi geografis merupakan suatu tanda yang menunjukkan daerah asal sebuah barang atau produk karena faktor lingkungan geografis, termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut. Hal ini memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang atau produk yang dihasilkan.

Tanda yang digunakan sebagai indikasi geografis dapat berupa label yang dilekatkan pada produk yang dihasilkan. Tanda itu juga dapat berupa nama tempat, daerah, atau wilayah, kata, gambar, huruf, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut.

“Dengan indikasi geografis, produk-produk IKM seperti kerajinan akan terlihat secara spesifik indentitas dan keunggulannya masing-masing. Bagi konsumen tertentu dapat menjadi penanda. Terlebih konsumen yang sangat menghargai pelestarian alam dan mendukung masyarakat lokal dan budayanya,” ujar Eddy.

Faktor lain yang bisa dimasukkan dalam indikasi geografis adalah Sumber Daya Manusia (SDM) dan proses pembuatannya. Sebab, ada beberapa produk kerajinan, termasuk batik, yang pembuatannya diajarkan secara turun-temurun dari nenek moyangnya. Hal itu bisa menjadi nilai tambah untuk produk itu sendiri, karena produk tersebut nilainya berbeda dengan yang diproduksi secara massal.

“Seperti di daerah Yogyakarta ada talent yang sangat spesial yang di sana SDM-nya sangat khas.  Dengan begitu, akan menjadi indentitas, kalau motif seperti ini hanya ada di Yogyakarta, karena misalnya ada pengaruh keraton atau budaya leluhur yang terkait dengan masa lalu,” terangnya.

Eddy menegaskan, Ditjen IKMA telah berupaya mengajak para komunitas perajin di daerah untukmemperhatikan manfaat dari indikasi geografis tersebut. Menurutnya, langkah itu bisa memproteksi terhadap keunggulan produk nasional, sehingga kondisinya tetap terjaga atau bahkan lebih bagus. “Kalau sudah melalui proses indikasi geografis, akan lebih bermanfaat secara ekonomi terhadap komunitas itu sendiri,” jelasnya.

Untuk mendapatkan sertifikasi indeks geografis, tahap pertama adalah pendaftaran produk oleh perajin. Kemudian, pemerintah melakukan kajian dengan parameter-parameter yang ada. “Nantinya, para penguji akan langsung datang ke daerah itu, kemudian melakukan penelitian, apakah layak untuk mendapatkan indikasi geografis,” imbuh Eddy.

Eddy menyampaikan, pihaknya siap memfasilitasi pendaftaran indeks geografis bagi pelaku IKM, mulai dari pengajuan ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia hingga pendanaan untuk mendapatkan sertifikasi tersebut.  “Untuk mendaftarkan, kalau komunitasnya kuat,biasanya mereka bayar sendiri. Tapi, kalau mereka tidak mampu, nanti kami bantu,” ujar Eddy.

Guna mendorong perajin nusantara memiliki indikasi geografis, Kemenperin tengah menyiapkan anggaran agar para perajin bisa dibantu untuk mendaftarkan indikasi geografis bagi produk mereka. “Tetapi komunitas harus kuat, karena memang indikasi geografis itu seperti SNI yang harus mendapatkan surveillance (pengawasan) setiap tahun,” pungkas Eddy.

    Related