Menurut data WorldBank, sebanyak 13,95% Produk Domestic Bruto (PDB) Indonesia berasal dari sektor pangan dan pertanian yang berjumlah US$ 129,6 miliar.
Sebagai negara agraris, beragam tantangan dihadapi oleh Indonesia, antara lain produktivitas padi dari petani Indonesia yang masih rendah (14,5% lebih rendah dibanding Vietnam) yang menjadikan biaya produksi menjadi yang termahal se-Asia menurut data dari International Rice Research Institute (IRRI).
Selain itu, dilansir dari McKinsey Research, rendahnya efisiensi rantai distribusi antarpetani ke konsumen juga mengakibatkan para petani Indonesia masih harus menghadapi kerugian dalam hal penurunan kualitas pasca panen sebesar 20% setiap tahunnya.
Beragam tantangan ini antara lain bersumber dari adanya ketidakmerataan data dan ketidakseragaman informasi terkait dengan kapasitas, pasar dan pembiayaan bagi seluruh pemain di sektor pertanian.
Dalam hal ini berkembangnya teknologi Blockchain dapat menjadi solusi bagi tantangan riil yang dihadapi Indonesia dalam sektor ini. Sebagai salah satu ekonom di Indonesia, Chatib Basri yang pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia pada kabinet Indonesia Bersatu II melihat peran krusial teknologi blockchain dalam meningkatkan produktivitas pertanian Indonesia.
“Pengembangan blockchain dan teknologi digital tidak diragukan lagi akan membantu mendorong perekonomian Indonesia melalui penyederhanaan birokrasi, memotong biaya transaksi, dan membuat proses transaksi menjadi lebih cepat,” ujar Chatib.
Salah satu startup yang bergerak dalam teknologi blockchain di Indonesia HARA, Dalam hal ini HARA membantu petani di Indonesia untuk meningkatkan produktivitas mereka, memotong biaya transaksi dan meningkatkan pendapatan mereka.
HARA percaya bahwa penggunaan teknologi blockchain dapat merevolusi sektor pertanian melalui ketersediaan data dan pemerataan informasi.
Editor: Sigit Kurniawan