Perang Dagang AS-China, Naas Menanti BMW dan Mercedes

marketeers article

Perang nuklir yang selama ini diheboh-hebohkan banyak orang akan terjadi dalam waktu dekat, nampaknya masih jauh dari bayangan. Sebaliknya, perang daganglah yang paling mungkin terjadi saat ini. Celakanya, hal itu tengah dimainkan oleh dua raksasa ekonomi dunia; China dan Amerika Serikat.

Pekan lalu, Presiden AS Donald Trump mengumumkan kenaikan tarif 1.300 produk yang diimpor dari China. Beberapa di antaranya adalah baja dan alumunium yang tarifnya naik masing-masing sebesar 25% dan 10%, atau total Rp 825,2 triliun.

Membalas aksi tersebut, Kementerian Perdagangan China juga menaikkan tarif impor atas 128 jenis barang konsumen dari Amerika hingga 25% dengan total nilai tarif sekitar Rp 41,3 triliun. Salah satu barang konsumen yang menjadi incaran China adalah otomotif.

Siapa yang bakal merugi akibat perang dagang ini? Analis perusahaan investasi Evercore mengungkapkan, justru pabrikan kendaraan roda empat asal Eropa yang akan terkena imbas paling parah dari adanya kenaikan tarif dari China sebesar 25% itu. Sebab, Beijing sebelumnya sudah menerapkan pajak 25% bagi mobil yang diimpor secara global.

Perusahaan otomotif Jerman seperti BMW dan Daimler dianggap akan menerima nasib sial dengan kerugian yang ditaksir mencapai US$ 1,73 miliar. Sebaliknya, produsen otomotif Amerika justru lebih aman dari ancaman tersebut. Pasalnya, perusahaan seperti Ford, Fiat Chrysler, dan GM membangun basis produksinya di China, bukan di Amerika.

Para analis menghitung bahwa BMW Group bisa mencetak penjualan hingga US$ 4 miliar tahun ini dari penjualan impor mobil produksi Amerika ke China. Analisis mengasumsikan harga transaksi per mobil sebesar US$ 60.000. BMW pun menjual 2,5 juta mobil secara global pada tahun 2017.

Sementara itu, pabrikan Mercedes-Benz, Daimler, diprediksi mampu menjual 51.000 mobilnya ke China dengan transaksi sekitar US$ 765 juta. Para analis juga mengasumsikan harga transaksi rata-rata US$ 60.000 dan pendapatan tahunan akan mencapai lebih dari US$ 3 miliar.

Dikutip dari CNBC, Daimler tidak akan mengomentari spekulasi pasar atau negosiasi yang sedang berlangsung antara China dan AS. Perusahaan itu mengatakan, “Kami memantau situasi perang dagang ini dengan cermat.”

Related