Bikin Kampanye Marketing? Pahami Psikologi Audiens

marketeers article
Sumber: www.truconversion.com

Perkembangan internet jelas memengaruhi lanskap bisnis. Hal ini bisa dilihat dari para pemain yang ramai-ramai melakukan penetrasi ke dunia maya. Namun, apakah semua merek serta-merta harus menggunakan kanal internet dalam melakukan kampanye marketing?

Bagi Media Director Endee Communication Dodi Soufiadi, kanal kampanye harus melihat kondisi target audiens. Sisi psikologis dari target audiens pun mutlak harus diperhatikan. Jadi, bukan sekadar ikut-ikutan tren dalam menggelar sebuah kampanye pemasaran.

“Sejak dulu, banyak pemasar yang berbicara soal nilai kuantitatif dari sebuah kanal komunikasi, seperti TV Rating, trafik, dan lain-lain. Namun, kini sebenarnya kita akan berbicara seberapa relevansi antara merek dan konten kampanye mereka, maupun kanalnya,” kata Dodi.

Dodi melanjutkan, dalam mengelola sebuah kampanye penting untuk melihat sisi psikologi dari target audiens. Untuk itu, penting baginya memosisikan diri selayaknya target audiens. Dari sini, peran sebuah riset mutlak dibutuhkan dalam proses pembuatan sebuah kampanye pemasaran. Data itu penting untuk dibicarakan di awal.

Dia mengambil contoh kampanye Advan yang tengah dikelola Endee Communication dengan acara TV The Voice of Indonesia. Pemilihan kanal ini tidak serta merta hanya melihat rating dari acara tersebut.

“Tapi, kami akan lebih dalam lagi. Konten program itu berbicara soal apa? Dari situ, kami harus pastikan bahwa brand yang kami pegang ini mampu turut serta terhadap program tersebut,” jelas Dodi.

Dalam hal ini, Dodi menggambarkan, kebanyakan merek besar dalam 10 tahun ke belakang selalu berbicara soal CPRP (cost per rating point) ketika memilih program TV. Mereka akan memasang iklan jika CPRP-nya rendah. Maksudnya, beriklan di harga yang rendah, namun meraih jumlah penonton tinggi. Bicara kampanye, saat itu mereka tidak memiliki backbone dan program pendukung yang terhubung antara merek dengan atensi audiens ketika menonton program tersebut.

“Endee menilai data kuantitatif sudah tidak 100% tepat. Kami harus memikirkan konten dan kesukaan konsumen. Hal ini juga berlaku untuk semua kanal komunikasi. Jika melihat empat tahun ke belakang, penggunaan brand ambassador, placing di sebuah area publik, seperti Commuter Line mudah untuk mendapatkan perhatian audiens.Alhamdulillah saat ini, konsumen Indonesia sudah cerdas ketika mengonsumsi sebuah informasi dengan tidak langsung mengatakan iya,” tegasnya.

Related

award
SPSAwArDS