Apa makna perjalanan bagi Anda? Pindah dan merasakan perbedaan dari satu tempat ke tempat lain? Bagaimana pun Anda memaknainya, perjalanan sejatinya mampu mengubah seseorang. Dan, itu yang saya alami melalui SSEAYP.
Selasa, 23 Oktober 2017 adalah hari di mana saya menginjakkan kaki di Haneda International Airport, Tokyo, Jepang. Ini menjadi pendaratan saya pertama kali di Negeri Matahari Terbit setelah belasan tahun hanya mengetahuinya dari film-film anime yang saya tonton sewaktu kecil. Entah mengapa, saya yakin Jepang selalu memberikan kesan pertama bagi siapapun yang mengunjunginya.
Saya tidak lah berpelesir seorang diri. Namun, saya bergabung bersama sebuah tim yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Tim yang membuat saya mengerti arti menjadi Indonesia. Tim yang menyadarkan saya bahwa negeri ini penuh dengan keragaman. Saya beruntung bisa dipertemukan dengan 27 pemuda-pemudi dari 27 provinsi nusantara. Tidak pernah sebelumnya merasa sebangga ini menjadi bagian dari Indonesia Participating Youth (IPY) atau dikenal pula dengan sebutan Garuda 44 di program SSEAYP (The Ship for Southeast Asian & Japanese Youth Program).
SSEAYP merupakan program kepemudaan yang disponsori oleh Pemerintah Jepang dan diikuti oleh pemuda-pemudi dari sepuluh negara Asia Tenggara dan juga Jepang. Program yang bertujuan untuk meningkatkan pertemanan (friendship) dan rasa saling pengertian (mutual understanding) ini, telah berjalan selama 44 kali sejak tahun 1974.
Kesuksesannya membuat SSEAYP dianggap sebagai a once-in-a-lifetime and life-changing expedition. Bayangkan, kami mengarungi samudera bersama-sama selama 52 hari, bertandang ke lima negara, bertemu kepala pemerintahan, dan melakukan aktivitas bermakna di dalam kapal pesiar M.S. Nippon Maru. Satu hal lain yang sama pentingnya adalah we don’t have to spend a single buck for the whole program. Fantastic, right?
Program ini sebenarnya bermula untuk mengkonter semangat anti-Jepang yang sempat mengemuka di tanah ASEAN, khususnya di negara yang pernah dijajah Saudara Tua ketika masa kolonialisme. Seiring berjalannya waktu, antipati tersebut telah pupus. Malah, program ini berlanjut untuk mendukung rasa persahabatan antarnegara ASEAN. Apalagi, hubungan bilateral ASEAN dan Jepang tak sebatas dalam lingkup politik, melainkan berkembang menjadi mitra ekonomi yang saling menguntungkan.
Mengikuti program ini hari demi hari, tak ada suatu siratan yang menunjukkan rasa kebencian tersebut di antara sesama peserta. Sebab, kami percaya, yang lebih melukai sesungguhnya adalah berpegangan pada masa lalu yang menyakitkan.
An Amazing Journey
Banyak orang bertanya apa saja yang kami lakukan selama program? Sejujurnya, jawabannya akan menyita waktu panjang untuk diuraikan. Program ini didesain untuk menyuarakan semangat persahabatan. Sehingga, aktivitas di dalamnya mesti mendukung tujuan utama tersebut.
Jika mesti merincinya secara sederhana, sebelas negara yang berpartipasi mesti menunjukkan identitasnya masing-masing. Dari segi kostum (attire), yel-yel, dan berbagai pertunjukkan budaya dan seni yang dipamerkan selama program. Selain bangga dengan kontingen Indonesia, saya pribadi cukup kagum dengan cheers yang dikumandangkan kontingen Filipina. Mereka kerap memberikan kejutaan saat melakukan yel-yel, apalagi dengan lagu Mabuhay-nya yang begitu kondang di telinga “penduduk” Nippon Maru.
Kendati demikian, kami tak diizinkan untuk selalu bersama dalam satu kontingen terus-menerus. Sebaliknya, setiap peserta dibagi ke dalam grup -bernama Solidarity Group (SG)- yang beranggotakan perwakilan masing-masing negara. Saya tergabung ke dalam SG-G bersama dengan 32 peserta lainnya. SG ibarat team building yang membuat kami selalu bersama dari awal hingga program berakhir. Sebab, sebagian besar aktivitas untuk mendukung rasa pengertian peserta di dalam grup.
Selain SG, peserta juga dipilah berdasarkan DG atau Discussion Group. Ada delapan tema DG, yang mana setiap peserta hanya masuk ke dalam satu tema yang mereka pilih sesuai minat. Sama dengan SG, DG juga beranggotakan peserta dari masing-masing negara. Profesi saya sebagai juru tulis memberikan kesempatan untuk bergabung di DG 2 yang bertema Information & Media.
Kami tidur di dalam kabin yang berisi tiga orang dari SG yang sama. Saya kebetulan satu atap dengan peserta asal Myanmar bernama Ar Man dan satu asal Jepang Hiroshi Sakomoto. Banyak cerita yang kami buai dari dalam kabin berplat 372. Hiro yang telah menikah bekerja sebagai seorang pegawai imigrasi di Osaka. Sementara Ar Man adalah mahasiswa perminyakan yang tengah menempuh studi akhir.
Kami dikenal sebagai rekan kabin yang calm, karena karakter kami yang cukup pendiam. Namun, semua tampak beda saat kami tengah bersama. Kami selalu berusaha membuat malam kian cair dengan lelucon yang membuat orang tertawa terpingkal-pingkal.
Malam sering diakhiri dengan berbagai aksi jahil. Kerap saya menerima telepon dari orang yang tak dikenal dan mengaku begitu menyukai saya. Tentu saja, saya tahu ini adalah aksi iseng teman-teman -yang kadang saya pun melakukannya-. Cara seperti ini kadang bisa membunuh rasa rindu kami dari update-an status di social media. Sebab, suka tidak suka, kami harus hidup tanpa akses dunia maya.
Kehidupan di Nippon Maru bagai berada di boarding school. Ada aturan yang wajib dipatuhi seluruh peserta. Setiap pukul 9 pagi, kami harus berbaris rapih di Dolphin Hall (auditorium) untuk mendengarkan seluruh informasi dan jadwal yang akan dilakukan selama seharian penuh. Meski wajib, banyak peserta yang memilih berada di kabin karena satu alasan; mabuk laut. Yes, seasickness is common when living in the ship.
Satu aktivitas yang saya sukai selama program adalah National Presentation (NP) yang dihelat pada malam hari. NP adalah kesempatan emas bagi setiap negara untuk menunjukkan ragam kesenian dan kebudayaannya kepada masyarakat ASEAN dan Jepang. Setiap negara mengusung tema tertentu, misalnya Garuda 44 yang membawakan tema Asian Games dengan balutan drama musikal lengkap dengan tarian-tarian tradisional yang merepresentasikan Sabang hingga Merauke. Saya sempat membawakan tari Saman dari Tanah Rencong, meskipun saya bukan seorang penari profesional.
Ada satu ritual yang hampir semua peserta melakoninya, yakni melihat matahari terbenam di deck lantai empat. Saya lebih memilih melihat sunset ketimbang sunrise, karena alasan sederhana; saya tidak bisa bangun pagi. Sesekali saya menuju lantai tujuh untuk menyaksikan bagaimana pusat tata surya meredupkan sinarnya. Namun, angin di lantai sport deck itu begitu kencang. Tak cocok bagi orang Indonesia macam saya yang dikenal sering keluar-masuk angin.
Berdiri sambil tangan memegang tralis besi, saya merasakan kapal melenggang pelan ke batas cakrawala yang memudar. Laut nyaris tak beriak. Semuanya terlihat seperti lukisan. Beberapa kali saya melihat burung –entah jenis apa- terbang di atas kapal. Seakan beradu balap di daratan aspal. “Oh, artinya kami berada dekat daratan,” gumam saya dalam hati berusaha berpikir logis.
Di kala ombak tengah berkelindan, saya melihat beberapa muda-mudi sedang asyik mengobrol yang diselingi gelak tawa. Di kapal ini, lebih tepatnya di program ini, tak jarang benih-benih cinta lokasi bersemi. Jika sudah begitu, saya lebih senang undur diri dari keriuhan, dan menyelinap mencari tempat yang lebih sunyi. Momen itu biasanya saya gunakan untuk introspeksi diri, menyakiskan alunan alam di tengah samudera.
Untungnya, saya bukan tipe manusia yang senang bermuram durja. Saya lebih sering melihat fenomena harian itu bersama teman-teman lain. Masing-masing dari kami bercerita tentang banyak hal; mulai dari karier, asmara hingga filosofi hidup.
Saya ingat betul cerita seorang teman asal Thailand yang mendedikasikan hidupnya untuk membesarkan perusahaan yang ia rintis, yang memberdayakan petani lokal lewat teknologi. Ada pula Wei Ling, peserta asal Singapura yang bekerja sebagai aktivis lingkungan. Ia adalah perempuan yang sering tak henti-hentinya menyuruh kami untuk menggunakan tumbler setiap hari. Kami pun sepakat menyebutnya sebagai The Girl with Tumbler.
Sejatinya, banyak cerita yang tak mungkin dituaikan seluruhnya dalam satu artikel ini. Karena, bagi saya, beberapa rasa harus dibiarkan menjadi rahasia. Bukan untuk diutarakan, namun untuk disyukuri keberadaannya.
Sebagai catatan akhir, saya ingin mengatakan bahwa SSEAYP adalah an eye-opening experience. Ketika saya hanya tahu ASEAN dan negara anggotanya, kini saya memahami karakter orang-orang yang hidup di kawasan itu. Ketika saya hanya bisa menyetujui bahwa orang Jepang terkenal ramah, kini saya benar-benar mengalami kerendahan hati mereka terhadap orang lain.
Apa pun itu, setiap individu memiliki interprestasi tersendiri tentang makna perjalanan. Akan tetapi, SSEAYP memberikan inspirasi bahwa perjalanan pada akhirnya bergerak maju. Ia maju untuk menghargai kenangan. Dan, kenangan itu ada untuk menghargai hidup.
Editor: Sigit Kurniawan