H&M, perusahaan ritel fesyen asal Swedia memutuskan untuk memangkas beban biaya hingga 2 miliar Krona atau setara US$ 177 juta menyusul raihan laba yang lebih rendah dari perkiraan. Raksasa ritel fesyen terbesar kedua dunia itu melaporkan adanya lonjakan biaya produksi, daya beli konsumen yang turun, hingga dampak bisnis saat keluar dari Rusia.
Dikutip dari Reuters, Kamis (29/9/2022), laba H&M sebelum pajak pada Juni-Agustus merosot menjadi 689 juta Krona (US$ 60,9 juta) dari periode yang sama tahun sebelumnya, 6,09 miliar Krona. Dalam survei Refinitiv, lima analis memperkirakan laba perusahaan itu bisa mencapai 2,98 miliar Krona.
H&M tidak memerinci sektor-sektor mana saja yang akan difokuskan untuk diefisiensikan. Namun, dari pemangkasan biaya yang dijalankan, hal itu bisa optimal pada paruh kedua tahun 2023.
Pengumuman itu membuat harga saham perusahaan ritel H&M turun sekitar 7% pada awal perdagangan.
Dari penutupan bisnis di Rusia pada Juli lalu, kontribusi penurunan laba mencapai separuhnya. Pada awal bulan ini, penjualan H&M lebih rendah dari perkiraan seiring konsumen yang menahan pembelian di tengah kenaikan harga energi dan meningkatnya banderol berbagai barang.
Pasar keuangan Eropa yang tengah memanas dan rantai pasok yang melambat turut membebani perusahaan. Tak hanya itu, kenaikan harga bahan baku dan pengiriman, serta dolar Amerika Serikat (AS) yang menguat membuat beban biaya menjadi sangat besar.
“Secara keseluruhan, faktor-faktor ini memiliki dampak negatif yang substansial terhadap kuartal tersebut. Kami memilih untuk tidak sepenuhnya mengompensasi kenaikan biaya yang tercermin dalam laba kotor,” kata Helena Helmersson, CEO H&M.
Mayoritas bisnis H&M berada di Eropa. Namun, kepercayaan konsumen dan rumah tangga di sana makin menurun sehingga berbagai pengeluaran dikurangi demi menghadapi ketidakpastian ekonomi di masa mendatang.
Inditex, pemilik Zara telah melewati berbagai tantangan ekonomi lebih baik dari H&M. Pada periode Mei-Juli, penjualan Zara membukukan kenaikan.