Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bersama dengan kementerian dan lembaga terkait berupaya memperlancar ekspor produk hilir minyak sawit. Meski begitu, Kebijakan tersebut tetap memprioritaskan pengamanan pasokan minyak goreng di dalam negeri melalui program Minyak Goreng Curah Rakyat (MGCR).
Perizinan ekspor minyak sawit dan produk olahan sawit ditentukan oleh Persetujuan Ekspor yang diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan, yang mana Kemenperin bertugas memutakhirkan data pelaporan realisasi distribusi MGCR sebagai basis angka Persetujuan Ekspor.
“Angka ini direkapitulasi untuk kemudian disepakati secara lintas antara K/L sebagai angka kuota ekspor masing-masing perusahaan,” kata Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri Perindustrian dalam keterangannya di Jakarta, Senin (18/7/2022).
Guna mendukung kebijakan tersebut, Kemenperin telah membangun Sistem Informasi Minyak Goreng Curah (SIMIRAH). Saat ini cakupan SIMIRAH 2.0 meliputi produsen CPO, produsen minyak goreng sawit, distributor, pengecer, sampai proses transaksi kepada konsumen.
Sistem itu juga menjadi salah satu langkah ketelusuran (traceability) dalam pemenuhan kebutuhan dalam negeri sebagai prasyarat untuk ekspor. Di samping itu, proses eksportasi minyak sawit juga telah dipercepat melalui mekanisme flush out atau pembayaran tarif bea keluar khusus sesuai PMK Nomor 102/2022 oleh para eksportir CPO dan/atau Minyak Goreng yang tidak mempunyai Hak Ekspor dari penyaluran MGC subsidi atau MGCR.
Berikutnya, memberikan relaksasi sementara Tarif Pungutan Ekspor menjadi 0 dolar AS per Metric Ton (MT) mulai 15 Juli hingga 30 Agustus 2022, serta pengalihan hak ekspor antar perusahaan. Pemerintah juga telah meningkatkan angka pengali dari yang semula 1:3 menjadi 1:5 dan kemudian ditingkatkan menjadi 1:7.
Artinya, satu bagian realisasi penyaluran minyak goreng untuk keperluan dalam negeri dapat dikonversi menjadi hak ekspor sebanyak tujuh kalinya. Sebelumnya, Putu Juli Ardika, Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin mengemukakan dalam kurun sepuluh tahun, ekspor produk turunan kelapa sawit meningkat cukup signifikan, dari 20 persen di tahun 2010 menjadi 80 persen pada 2020.
“Hal ini sesuai target peta jalan pengembangan industri hilir kelapa sawit yang diatur melalui Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 13 Tahun 2010,” ujarnya.
Dalam visi hilirisasi tahun 2045, Indonesia menargetkan akan menjadi pusat produsen dan konsumen produk turunan minyak sawit dunia, sehingga mampu menjadi price setter (penentu harga) CPO global.