Tujuh puluh tahun merdeka, penelitian di Indonesia memang bergerak tumbuh, namun tak secepat yang semestinya terjadi. Berbagai tantangan, mulai dari infrastruktur teknologi hingga sumber daya pun menjadi soal yang tak kunjung usai.
Kementerian Riset dan Teknologi RI menyatakan, idealnya Indonesia membutuhkan 200.000 peneliti. Faktanya, sampai saat ini, peneliti Indonesia yang terdaftar di LIPI hanya berkisar 8.000 orang dan 16.000 peneliti bekerja di perguruan tinggi.
Jumlah peneliti tersebut tentu saja terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mendekati 240 juta jiwa. Sebagai perbandingan, Belarusia sebuah negara kecil di Eropa memiliki 36 peneliti per 10.000 penduduk. Sementara Indonesia masih pada komposisi satu peneliti per 10.000 penduduk.
“Secara teori, peneliti Indonesia begitu kreatif dan berdaya saing. Namun, keterbatasan yang dihadapi justru pada pengadaan alat penelitian,” tutur Dr. Adil Basuki Ahza, Dosen Food Procession Engineering di Departemen Ilmu Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) di Jakarta, Senin (25/7/2016).
Adil melanjutkan, anggaran pemerintah untuk pengembangan riset dan teknologi begitu kecil atau 0,05% dari PDB. Selain itu, harga bahan-bahan kimia untuk penelitian di Indonesia lebih mahal dibanding Malaysia dan Singapura.
“Di banding Malaysia saja, anggaran pemeliharaan alat penelitian sekitar 15% dari anggaran belanjanya. Di Indonesia, biaya maintenance sedikit sekali,” ucapnya.
Padahal, dengan adanya pemiliharaan, sebuah alat yang dibuat pada tahun 1981 masih bisa berjalan meskipun alat itu sudah tua. “Milik kami, banyak alat yang rusak,” tambahnya lagi.
Maka itu, IPB sebagai salah satu institusi yang aktif melakukan penelitian tak bisa terlalu mengharap bantuan pemerintah. Pihaknya membuka peluang kerja sama dengan pihak swasta demi mensukseskan sebuah penelitian.
“Hanya saja, perusahaan yang kerap melakukan penelitian seperti Nestlé, penelitiannya banyak dilakukan di luar negeri, ketimbang di Indonesia,” akunya.
Kendati demikian, salah satu perusahaan dalam negeri yang cukup aktif di bidang penelitian adalah PT Nutrifood Indonesia. Perusahaan itu membantu tim IPB berangkat menuju ajang kompetisi teknologi pangan Developing Solutions for Developing Countries Competition (DSDC) di Chicago, Amerika Serikat.
“Kami melihat, dunia penelitian makin baik. Makin banyak yang mau jadi peneliti. Hal ini dapat dilihat dari keikutsertaan peneliti di ajang Nutrifood Grant yang naik 300% menjadi 1.000 pendaftar,” seloroh Astri Kurniati, Nutrition & Health Science Manager Nutrifood.
Penelitian Butuh Marketing
Adi menerangkan, hampir setiap tahun, IPB mengirimkan mahasiswanya di ajang DSDC yang dianggap paling bergensi untuk kompetisi teknologi pangan dunia. Hanya saja, tahun ini, Indonesia tak meraih satu juara pun di ajang yang diselenggarakan oleh Institute of Food Technologists (IFT) Student Association itu.
“Ternyata, banyak standar kompetisi yang berubah. Ada strategi yang harus kita pahami sedetail mungkin,” terangnya.
Adil menjelaskan, persiapan yang kurang matang menjadi poin pembelajaran dari kegagalan tersebut. Ia melihat, para pemenang yaitu Kanada, Amerika Serikat dan Kosta Rika mempersiapkan materi dan hasil inovasi secara detail. Bahkan, dalam satu tim, mereka terdiri dari orang dengan latar belakang pendidikan yang berbeda.
“Pertama, IPB mengirimkan mahasiswa yang masih belum lulus. Sedangkan kebanyakan negara lain mengirimkan para mahasiswa master. Kedua, tahun ini Amerika Serikat ikut kompetisi. Sehingga persaingan kian berat,” terang Adil menjelaskan kegagalan itu.
Karenanya, lanjut Adil, dirinya berharap tahun depan, tim IPB yang berpartisipasi dalam DSDC tidak hanya dari departemen teknologi pangan saja, melainkan lintas departemen di IPB, termasuk Sekolah Bisnis IPB.
“Masing-masing departemen harus memberikan dukungan sesuai bidang keahliannya, sehingga hasil penelitian menjadi lebih kaya,” papar Adil.
Cynthia Andriani, mahasiswi IPB yang juga salah satu anggota tim “Creve” dengan produk Rich Calcium Vegetable Cream Soup memaparkan, kompetisi DSDC tidak hanya dituntut untuk membuat produk pangan sehat sesuai tema yang dicanangkan.
“Akan tetapi, bagaimana produk tersebut dapat diproduksi, dipasarkan, dan memiliki economic value,” katanya.
Para pemenang DSDC, lanjut Cynthia, bahkan sudah memikirkan mata rantai distribusi hingga startegi pemasaran dari produk inovasi pangannya. “Pengetahuan mengenai marketing dan bisnis juga diperlukan bagi seorang peneliti,” katanya.
Editor: Sigit Kurniawan