Kehadiran layanan transportasi online seperti yang disediakan oleh Grab, Uber, dan Go-Jek dianggap telah banyak membantu serta merubah pola konsumsi masyarakat dalam menggunakan moda transportasi. Namun pada sisi lainnya, kehadiran mereka dianggap telah menggerus pendapatan pengusaha transportasi konvensional akibat banyaknya penumpang yang beralih pada jasa transportasi online.
Buntut dari aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh pengemudi transportasi konvensional di Jakarta, Selasa (22/3/2016), menimbulkan pertanyaan dikalangan masyarakat. Mengapa penyedia transportasi konvensional ini tidak ikut bikin aplikasi online juga?
Tentunya perkara membuat aplikasi adalah persoalan yang mudah. Bagi Deputy CEO MarkPlus, Inc. Jacky Mussry, persoalannya bukanlah pada perkara membuat aplikasi online atau tidak. Jacky menekan bahwa yang menjadi persoalan adalah model bisnis yang diterapkan.
“Sudah ada perusahaan transportasi konvensional yang juga membuat aplikasi untuk pemesanan secara online. Tapi, aplikasi tersebut hanya sekadar untuk jasa pemesanan transportasi saja. Selebihnya model bisnisnya tetap sama seperti yang sudah-sudah yang dikembangkan sejak jaman belum terkoneksi secara online seperti sekarang. Jadi bukan semata-mata pakai aplikasi online,” ungkap Jacky.
Layanan penyedia transportasi online seperti Uber hadir dengan model bisnis yang berbeda. Bisnis model yang berbeda ini membuahkan pada penetapan harga yang kompetitif. “Yang perlu diperhitungkan oleh pemain lama adalah transformasi bisnisnya. Kalau pun pakai aplikasi online bisnis modelnya tidak sesuai ujung-ujungnya akan tidak kompetitif juga.”
Jacky mengibaratkan model bisnis yang diterapkan oleh pelaku maskapai low cost carrier (LCC). Sebagai upaya menekan biaya, pelaku maskapai LCC tidak menyediakan layanan seperti makan, minum, majalah, dan berbagai amenities lainnya. Sementara maskapai full service mematok harga yang lebih mahal karena mereka memberikan pelayanan penuh—yang berarti menimbulkan biaya tambahan yang tidak sedikit bagi perusahaan – yang tidak diberikan oleh maskapai LCC.
“Kalau mau memberikan harga yang mahal maka harus ada alasan kuat mengapa konsumen harus membayar lebih mahal. Apakah memang ada suatu value added yang signifikan bagi para pelanggan? Apakah ada suatu diferensiasi yang sangat relevan bagi para pelanggan? Para pelanggan itu membelanjakan uangnya untuk bisa mendapatkan manfaat yang optimum,” pungkas Jacky.
Editor: Eko Adiwaluyo