Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) memproyeksikan hingga akhir tahun 2022 kinerja bisnis industri makanan dan minuman (mamin) tumbuh lebih dari 5%. Pertumbuhan bisnis itu ditopang oleh permintaan ekspor yang terus menggeliat usai merebaknya pandemi COVID-19.
Adhi S Lukman, Ketua Umum Gappmi mengungkapkan pertumbuhan yang positif tersebut tercermin dari rekam jejak sejak tahun 2020. Tercatat, meskipun wabah merebak, industri mamin bisa tumbuh 0,5% dan diikuti pada akhir 2021 pertumbuhannya 2,5%.
BACA JUGA: Semester I Tahun 2022, Ekspor Industri Mamin Tembus US$ 21,3 Miliar
“Lalu sampai akhir semester I tahun 2022 pertumbuhannya sudah mencapai 3,68%. Kami optimistis hingga akhir 2022 pertumbuhan industri mamin bisa lebih dari 5%,” ujar Adhi kepada Marketeers, Kamis (13/10/2022).
Menurutnya, faktor lain yang menjadi penopang pertumbuhan kinerja bisnis yakni tingginya konsumsi domestik. Meskipun daya beli melemah karena kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, namun konsumsi masih cukup kuat menopang pertumbuhan.
BACA JUGA: BBM Bakal Naik, Industri Mamin Condong Kurangi Profit
Kondisi semakin diuntungkan dengan adanya bantuan langsung tunai (BLT) sebesar lebih dari Rp 23 triliun. Adhi mengaku percaya diri dana yang digelontorkan pemerintah bagi warga miskin sebagian besar dialokasikan membeli produk makanan dan minuman.
Dari pasar global, meskipun rantai pasok dan logistik masih terganggu permintaannya terus menunjukkan peningkatan yang signifikan. Salah satu contohnya, yakni di Singapura yang mulai meminta makanan olahan ayam dari Indonesia.
“Sebelumnya, Singapura memasok ayam dari Malaysia. Namun, karena di Malaysia juga terganggu pasokannya, mereka mulai membeli dari Indonesia. Jadi ini peluang yang harus dimanfaatkan,” ujarnya.
Kendati demikian, Adhi mendesak pemerintah untuk menjamin ketersedian bahan baku makanan dan minuman. Sebab, selama ini ketergantungan industri mamin terhadap impor bahan baku masih sangat tinggi.
Berdasarkan catatannya, impor kebutuhan terigu masih 100% impor, diikuti dengan susu sebanyak 80%. Lalu ketergantungan 70% kedelai dan 90% jagung pangan impor.
Termasuk pula di antaranya bahan pemanis, pengawet, dan pewarna makanan yang 60% kebutuhannya harus dipasok dari luar negeri.
“Inilah yang menjadi perhatian selama ini soal ketersediaan bahan baku pangan. Pemerintah harus memastikan ketersediaan pangan ini khususnya bahan bakunya yang sangat penting untuk diperhatikan,” tuturnya.
Editor: Ranto Rajagukguk