Merek dan produk bisa diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang terpisahkan. Keduanya memiliki nilai yang melekat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Sehingga pengembangan dan penguatan kedua hal tersebut harus berjalan bersamaan. Apalagi, bila produk yang dikembangkan merupakan core business perusahaan tersebut yang ditujukan untuk menggenjot citra merek atau perusahaan dan secara bersamaan untuk meraih pertumbuhan.
Langkah mengejar pertumbuhan dengan memaksimalkan core competency yang dimiliki perusahaan cenderung lebih mudah karena pada dasarnya sudah mengenal secara utuh pasar yang selama ini mereka garap. Jadi, alih-alih melakukan product leverage alias melebarkan portofolio produk, akan lebih efektif melakukan inovasi pada produk standar dengan menambah unique value proposition produk atau melakukan personalisasi produk untuk menggarap segmen-segmen niche.
Langkah paling jamak dilakukan oleh para merek atau perusahaan adalah mengeluarkan mass personalised product atau flagship product. Bisa juga dengan mengemasnya dengan bahasa limited editition yang pada praktiknya bisa diproduksi berulang-ulang dengan embel-embel seri pertama, kedua, dan seterusnya. Dengan meluncurkan flagship product akan meningkatkan brand value, brand identity, dan brand image.
Lebih dari itu, meningkatkan reputasi merek tersebut di segmen di mana produk flagship diluncurkan. Karena, produk unggulan tersebut memiliki nilai lebih dari produk di segmen sejenis dari kompetitor. Pada akhirnya, produk flagship ini bisa menjadi ujung tombak pertumbuhan atau product-led growth.
Di sisi lain, seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan perilaku konsumen, ceruk-ceruk pasar yang spesifik juga terus bermunculan. Kondisi ini menjadi peluang bagi perusahaan untuk masuk dengan membawa penawaran product value prosition baru yang sesuai dengan masing-masing ceruk. Dengan begitu, personalisasi menjadi kunci dalam pengembangan produk untuk menggarap segmen niche ini.
Dalam laporan dari Deloitte berjudul The Deloitte Consumer Review: Made-to-order: The Rise of mass Personalisation menyebutkan berbagai alasan mengapa konsumen semakin memilih produk yang punya sentuhan personalisasi. Sekitar 50% konsumen menyebut produk ini bisa untuk hadiah. Lalu, 41% mengatakan memang menyukai produk yang unik. Sedangkan 34% responden menyebutkan kebanyakan produk standar tidak memberikan penawaran seperti yang diharapkan.
Hampir dipastikan, di masa depan, bisnis yang tidak memasukkan unsur personalisasi ke dalam model bisnis mereka berisiko kehilangan pendapatan dan loyalitas pelanggan. Hanya saja, untuk menciptakan produk seperti ini perusahaan harus menimbang biaya produksi yang harus dikeluarkan. Apakah harus mengeluarkan biaya ekstra yang relatif besar atau tidak.
Selain itu, ketika menawarkan personalisasi harus bisa menekan atau menghindari untuk mengubah operasi bisnis. Termasuk, dalam proses inti seperti manufaktur, distribusi, pemasaran, dan layanan pelanggan. Perlu dipastikan adalah nilai keunikan yang dihasilkan bisa benar-benar mendapat respons positif dari konsumen. Jadi, tantangannya adalah menentukan berapa banyak pilihan yang diperlukan agar suatu produk atau layanan terasa unik, namun tetap menguntungkan
Melalui personalisasi produk ini perusahaan juga tidak perlu segan untuk memberi penawaran harga yang lebih tinggi dari produk standar yang ditawarkan ke pasar. Dalam survei Deloitte menyebutkan bahwa sekitar 50% konsumen sangat tertarik membeli produk yang ada unsur personalisasinya. Lalu, 46% bersedia menunggu lebih lama untuk membeli sampai personalised product atau flagship product tersebut meluncur.