Pertamina Jual Komersil Bahan Bakar Pesawat dari Minyak Jelantah Tahun 2025
PT Pertamina (Persero) tengah mengembangkan penggunaan minyak jelantah atau used cooking oil (UCO) untuk bahan baku sustainable aviation fuel (SAF) berbasis minyak nabati. Perseroan menargetkan bahan bakar ini akan mulai diuji coba dalam joy-flight pada pesawat Pelita Air pada kuartal I tahun 2025.
Oki Muraza, SVP Research & Technology Innovation Pertamina menjelaskan langkah tersebut sebagai bentuk pengurangan emisi gas karbon di sektor transportasi udara tetapi sekaligus menjawab persoalan sampah rumah tangga dan limbah industri. Dia bilang Pertamina sendiri telah melakukan riset pengembangan minyak jelantah sebagai bahan baku energi.
BACA JUGA: Tekan Emisi Metana 40%, Pertamina Gandeng Perusahaan Internasional
“Sebelumnya SAF dikembangkan menggunakan minyak kelapa sawit dalam bentuk crude palm oil (CPO) atau refined bleached deodorized palm kernel oil (RBDPKO),” kata Oki melalui keterangan resmi, Senin (18/11/2024).
Untuk memulai program tersebut, kata Oki, langkah yang dilakukan Pertamina adalah mengumpulkan minyak jelantah dari berbagai sumber. Di antaranya seperti rumah tangga, restoran, dan industri pengolahan makanan.
BACA JUGA: Langkah Pertamina Menggapai Pasar Global melalui MotoGP
Teknologi pengolahan SAF menggunakan jalur Hydroprocessed Esters and Fatty Acids (HEFA) memungkinkan konversi minyak jelantah menjadi bahan bakar yang kompatibel dengan infrastruktur penerbangan yang ada. Oki mencatat potensi pengumpulan minyak jelantah di Indonesia dapat mencapai 1,24 juta kiloliter per tahun.
“Pada tahun depan, SAF dari minyak jelantah bisa digunakan secara komersial,” ujarnya.
Kendati demikian, kata Oki, ada berbagai tantangan dalam melaksanakan program tersebut. Di antaranya seperti kurangnya kesadaran masyarakat tentang mekanisme pengumpulan dan distribusi lokasi sumber minyak jelantah yang tersebar luas masih menjadi hambatan utama.
Selain itu, dari aspek hukum juga masih belum ada regulasi yang mengaturan penggunaan minyak jelantah maupun SAF. Hingga saat ini pemerintah masih dalam tahap pengembangan regulasi dalam rangka mendukung pengembangan SAF di Indonesia.
Regulasi diperlukan setidaknya untuk menjawab dua tantangan besar, yakni terkait kuota dan tarif ekspor minyak jelantah serta pengembangan manajemen pengumpulan minyak jelantah. Tujuannya, untuk memastikan kualitas dan kualitas minyak jelantah yang nanti akan digunakan sebagai feedstock bahan bakar.
“Untuk menjawab tantangan ini, Pertamina melalui PT Pertamina Patra Niaga telah memulai program pra-pemasaran di Bali dengan memasok SAF kepada beberapa maskapai penerbangan,” ujarnya.
Sementara itu, Riva Siahaan Chief Executive Officer (CEO) PT Pertamina Patra Niaga menekankan pentingnya kolaborasi untuk memperluas kapasitas produksi. Dalam jangka panjang, Pertamina menargetkan pengumpulan minyak jelantah meningkat dari 0,3 juta ton pada 2023 menjadi 1,5 juta ton pada 2030, guna mendukung produksi SAF dan bahan bakar rendah karbon lainnya.
Strategi ini melibatkan kolaborasi dengan sektor pemerintah dan swasta untuk memperluas kapasitas pengumpulan dan infrastruktur penyimpanan minyak jelantah.
“Keberhasilan SAF tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada regulasi yang mendukung, insentif pemerintah, dan kerja sama antara sektor publik dan swasta. Dengan Pertamina One Solution, kami optimistis dapat mendorong transisi energi yang berkelanjutan di sektor penerbangan,” kata Riva.
Editor: Ranto Rajagukguk