Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan kerugian akibat adanya perubahan iklim secara global mencapai US$ 100 miliar atau setara Rp 153,3 triliun (kurs Rp 15.339 per US$). Perkiraan tersebut bisa bertambah apabila kondisi makin memburuk.
Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana IMF menuturkan hingga sekarang kondisi perubahan iklim kian memburuk, terutama di kawasan Asia Pasifik. Hal ini kemudian menyebabkan cuaca ekstrem yang terjadi di berbagai wilayah sehingga berdampak pada gagal panen dan matinya hewan ternak.
BACA JUGA: Luhut Ungkap Krisis Iklim Sebabkan 3 Juta Kematian
“Hewan-hewan juga menjadi korban karena kebakaran hutan dan kekeringan. Kerugian yang diperkirakan akibat perubahan iklim mencapai US$ 100 miliar per tahun,” kata Kristalina dalam Indonesia Sustainability Forum di Jakarta, Kamis (7/9/2023).
Menurutnya, di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) negara-negara yang paling terdampak perubahan iklim, yakni Vietnam, Myanmar, dan Filipina. Di Indonesia, dampak yang paling terasa, yakni naiknya air laut hampir di seluruh wilayah pesisir.
BACA JUGA: CIPS: Impor Beras Bantu Jaga Persediaan di Tengah Krisis Iklim
Kendati demikian, Kristalina mengapresiasi keseriusan ASEAN dalam menangani perubahan iklim yang telah tertuang dalam Paris Agreement on Climate Change. Kawasan tersebut berkomitmen untuk mengurangi penggunaan energi kotor batu bara.
“Indonesia juga berkomitmen menggunakan 50% energi baru terbarukan (EBT), sedangkan Singapura adalah yang terbaik dalam menciptakan kerangka kerja transisi energi,” ujarnya.
Senada dengan Kristalina, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menambahkan saat ini krisis iklim menjadi masalah utama manusia setelah merebaknya pandemi COVID-19. Tercatat, pada Juli 2023 terjadi kenaikan suhu rata-rata global tertinggi dalam sejarah yang mencapai 1,5 derajat celcius dari rata-rata sebelum masa industrialisasi.
Dewasa ini, kata Luhut, merupakan masa yang sangat penting dalam sejarah peradaban manusia. Sebab, ketika semua orang lama dalam mengantisipasi risiko perubahan iklim, maka dampaknya akan makin buruk bagi generasi mendatang.
“Sebagai pengganda ancaman, krisis iklim memengaruhi ketahanan pangan dan wilayah pedesaan pembangunan, dan kemiskinan. Selain itu, krisis iklim merugikan perekonomian global sebesar US$ 23 triliun pada tahun 2050 dan 3 juta kematian setiap tahunnya,” tutur Luhut.
Editor: Ranto Rajagukguk