Proporsi kepemimpinan perempuan di perusahaan Indonesia mengalami penurunan yang tajam menjadi 20% atau berada di bawah rata-rata global (22%) dan rata-rata negara-negara berkembang Asia Pasifik (23%). Padahal, tahun lalu hasilnya menyentuh level 41%. Begitulah hasil riset Grant Thornton International Business Report (IBR) akhir-akhir ini.
Riset itu juga menyebut, partisipasi perempuan Indonesia di level manajemen senior berada di bawah negara-negara ASEAN yang disurvei, yaitu Thailand (27%), Singapura (23%), dan Malaysia (22%). Di kawasan Asia Pasifik, level Indonesia hanya berada sedikit di atas Selandia Baru (19%) dan India (15%). Situasi ini bertolak belakang dengan hasil riset tahun lalu yang menempatkan Indonesia sebagai negara tertinggi dengan tingkat partispiasi perempuan di level manajemen puncak dibanding negara tetangganya.
Menanggapi hal itu, Johanna Gani, Managing Partner Grant Thornton Indonesia menjelaskan bahwa budaya Indonesia sangat kuat dipengaruhi oleh struktur masyarakat yang hierarki dan didominasi sistem patrilineal. Sama dengan Jepang dan India, kondisi itu sangat menghambat perempuan untuk dapat mencapai level jabatan yang lebih tinggi di dunia bisnis.
“Padahal, negara-negara berkembang di Asia Pasifik, seperti Inddonesia, secara historis mendapatkan banyak manfaat dari infrastuktur yang menjadikan lokasi tinggal sanak saudara saling berdekatan. Sehingga, hal itu memungkinkan lebih banyak perempuan untuk pergi bekerja. Namun, kenyataannya malah tidak demikian,” terangnya.
Argumen yang dikemukakan Johanna sejalan dengan hasil riset IBR terbaru yang mengemukakan bahwa peran orang tua (41%), tekanan dan kewajiban dalam keluarga (41%), struktur yang tidak mendukung (31%), dan diskriminasi gender (24%), dipersepsikan sebagai faktor utama yang menghambat langkah kaum perempuan untuk melenggang ke tingkatan manajemen senior di perusahaan.
Johanna mengaku pihaknya sering mendengar wacana suatu perusahaan untuk mengusung kesetaraan gender dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Namun sayang, hingga kini, menurut penerawangannya, masih terlalu sedikit perusahaan yang berani benar-benar melakukan hal itu. Di samping masalah moral mengenai kesempatan yang setara bagi semua gender, komposisi yang merata antara peran laki-laki dan perempuan di level manajemen senior merupakan satu hal yang seharusnya menjadi prioritas dalam menjalankan bisnis.
Johanna menegaskan, masalah tersebut merupakan tantangan riil, tidak hanya bagi kalangan pebisnis, tetapi juga bagi pemerintah, dan seluruh lapisan masyarakat. Ia pun mendorong semua kalangan untuk melakukan perubahan dalam cara memandang hidup dan pekerjaan. “Sebagai contoh, pemerintah dapat memberikan dukungan melalui pemberian mandat terkait dengan kuota perempuan di jajaran manajemen puncak perusahaan. Masyarakat harus menantang ketidaksetaraan gender. Dan, dunia bisnis sudah seharusnya membentuk komitmen di level manajemen puncak untuk mendukung lahirnya lebih banyak pemimpin perempuan,” tutupnya.