Pesan untuk Es Teh Indonesia, Seharusnya Bisa Ditanggapi dengan Lebih Elegan
Jagat maya Indonesia kembali diramaikan dengan kasus yang melibatkan merek dengan konsumennya. Kali ini, merek minuman Es Teh Indonesia menjadi sorotan netizen karena sikapnya yang melayangkan surat somasi ke keluhan konsumen yang dianggap menyesatkan dan mencemarkan nama baik perusahaan.
Setelah dilayangkannya somasi oleh PT Es Teh Indonesia Makmur kepada akun Twitter @Gandhoyy, kasus ini pun “dimenangkan” oleh perusahaan. Sang pemilik akun sudah membuat sebuah thread permintaan maaf melalui Twitter.
Namun, apakah perusahaan benar-benar “memenangkan” perseteruan tersebut? Di satu sisi, iya, karena permintaannya sudah dipenuhi oleh konsumen tersebut dan mungkin saja citra produknya yang dianggap dicemar telah membaik.
Namun, di sisi lain, Es Teh Indonesia justru mendapatkan banyak komentar dari netizen yang tidak setuju, menyayangkan, dan menganggap sikap yang diambil oleh perusahaan adalah hal yang berlebihan yang seharusnya bisa dilakukan dengan lebih elegan.
Bisa saja dengan cara merangkul, mendengarkan, atau memberi sedikit “bumbu” canda. Siapa tahu, memang ada masukan yang bagus meski cara mengungkapkannya sedikit ekstrem.
Atau bahkan, perusahaan justru bisa menghasilkan produk hasil co-creation dengan cara mendengarkan masukan dari para pelanggan hingga pelanggan kian memiliki rasa kepemilikan terhadap produk atau brand tersebut.
Namun nasi telah menjadi bubur. Reputasi merek atau brand reputation dari Es Teh Indonesia kini terganggu oleh aksinya sendiri, terlebih di era Marketing 3.0 yang menuntut merek untuk tampil lebih horizontal, inklusif, dan sosial.
Sekali lagi, fungsi digital surveillance atau pengawasan digital oleh masyarakat atau netizen kembali terjadi, khususnya di tingkat konsumen melalui media sosial.
Membangun produk dengan value
Di era Marketing 3.0, para pemasar dituntut untuk menangkap hidden needs dari customer. Tidak hanya itu, perusahaan juga harus memerhatikan dampak yang diberikan oleh bisnis terhadap lingkungan sekitar dan komunitas sosial.
Tentu, era ini juga berbicara mengenai value yang ditawarkan oleh merek kepada konsumennya. Membuat produk yang bertanggung jawab, tidak banyak mengandung gula yang tidak baik untuk kesehatan, hingga menjaga higienitas menjadi satu dari sekian cara memanusiakan konsumen.
Ya, marketing sekarang lebih luas karena tidak hanya melihat dari sisi konsumen, namun juga melihat mereka sebagai manusia yang utuh. Tentu, brand pun harus menampilkan sisi human-nya.
Di sini, marketing 3.0 mempertimbangkan perspektif dari konsumen, seperti melihat adanya dampak dari apa yang mereka tawarkan, hingga dampak perusahaan kepada orang terdekat konsumen.
Komunikasi horizontal
Begitu juga dengan komunikasi yang horizontal. di era sekarang pola komunikasi untuk pemasaran tidak lagi menggunakan pesan yang secara masif disebar kepada target. Pesan secara vertikal yang menunjukkan strata dan power lebih juga sudah tidak lagi relevan dengan nilai yang dianut konsumen hari ini.
Konsumen, justru lebih percaya terhadap merek yang berada di posisi yang sama, alias setara. Merek yang berada di posisi yang sama dengan konsumen akan menjadi merek yang paling didengarkan.
Karakter merek di era digital: respect
Respect menjadi karakter kedua dari enam karakter yang harus diadopsi oleh merek di era digital hari ini. Di sini, merek harus mampu menunjukkan sikap hormat, toleran, dan mengatasai kesalahpahaman dengan baik.
Ketimbang menunjukkan arogansi dan kekuatannya, merek bisa saja meraih empati dari lebih banyak audiens ketika mampu menangani permasalahan dengan lebih elegan dan ramah.
Bahkan, kepada pesaing pun, merek harus bisa menunjukkan sikap hormatnya. Sesuai salah satu kredo Marketinhg 3.0 yang berbunyi: cintai pelanggan dan hormati pesaing. Dua hal ini tidak bisa dilepaskan satu sama lain.
Dengan cara ini, bukan tidak mungkin bagi merek untuk memperbesar basis penggemar dan konsumen yang mencintai mereka. Muaranya, merek akan menguasai heart share konsumen hingga mendulang advokasi dari basis konsumen tersebut.
Pertanyaannya, sudahkah brand Anda tampil sebagai human hari ini?