Sudah menjadi ideologi di masyarakat Indonesia bahwa rambut ideal perempuan adalah hitam dan panjang. Perlahan, kehadiran internet dan media sosial mengubah cara pandang seseorang akan rambut. Sebab, pewarnaan rambut atau colouring makin digemari masyarakat saat ini.
Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah konsumen masih ragu untuk mengecat rambut. “Perempuan Indonesia sebenarnya punya keinginan untuk mewarnai rambut mereka. Hanya saja ketakutan terbesar mereka yaitu takut rambut menjadi rusak,” ucap Queentia Tampubolon, Brand General Manager L’Oréal Professionnel kepada Marketeers beberapa waktu lalu.
Hal tersebut tercermin dari laporan Kantar Hair Salon Study terhadap 61 perempuan Indonesia yang menemukan bahwa sepanjang tahun lalu, terjadi peningkatan servis kimia di salon sebesar 43%. Servis kimia yang dimaksud di antaranya pengeritingan, pelurusan, dan juga pewarnaan rambut.
Queentia menjelaskan, kurangnya pemahaman terhadap pewarnaan rambut serta pentingnya menjaga kesehatan rambut paska melakukan servis kimia, membuat konsumen enggan mewarnai rambut untuk kedua kalinya. Hal ini justru dapat membahayakan perkembangan bisnis salon di Tanah Air.
Pasalnya, permintaan tertinggi di salon selama ini hanya berkutat pada cutting (potong rambut), hair blow dan creambath (cuci). Jika servis yang ditawarkan itu-itu saja, bisnis salon dipastikan tak bergerak dinamis. Peluang karier di bidang tata rambut pun seolah tak menjanjikan.
“Masalah itu bukan hanya ketakukan konsumen, melainkan juga para hairdresser. Mereka ingin teknik pewarnaan rambut yang baik diikuti dengan hasil rambut yang sehat,” ujarnya.
Memang, perkembangan tren tata rambut tak seirama dengan perkembangan tren tata rias atau makeup. L’Oréal Professionnel mengutip data global yang menyatakan bahwa pertumbuhan pasar makeup lima kali lebih besar ketimbang pasar salon.
“Nilai pasar makeup mencapai US$ 9,2 miliar, sedangkan pasar salon hanya US$ 3,2 miliar secara global,” kata Nitya Puspandhari, Product Manager L’Oréal Professionnel dalam presentasinya.
Walau ada “jurang” yang besar antara makeup dan salon, itu menandakan bahwa potensi pasar salon masih terbuka lebar untuk bertumbuh. Hal ini yang mesti dioptimalisasi oleh pemain salon, termasuk pemasok produk-produk salon agar bisa menggairahkan pasar.
Apalagi, selama 12 bulan terakhir sepanjang tahun 2016, terdapat 246 tren haircolor yang berkembang di jagad digital. Selain itu, penelurusan netizen di laman Google dan Youtube mengenai pewarnaan rambut pun meningkat 18%.
“Itu menandakan bahwa orang semakin aware dengan pewarnaan rambut. Mereka pun bertanya-tanya di media sosial mengenai pewarnaan rambut sebelum memutuskan untuk melakukan servis kimia itu,” tutur Nitya.
Queentia menambahkan, berdasarkan Data Market Professional Hair 2016, market size salon di Indonesia mencapai Rp 1,3 triliun, yang mana 20%-nya berasal dari pewarnaan rambut (sekira Rp 274,1 miliar). Tahun 2017, pasar salon diproyeksikan tumbuh moderat sekitar 10% atau naik tipis menjadi Rp 1,4 triliun.
“Sementara itu, L’Oréal Professionnel menguasai market share 21% untuk kategori pewaranaan rambut di Indonesia,” ungkapnya.
Pemain produk salon atau merek hair professional memang tak sebanyak kategori hair care seperti shampo yang dijual untuk mass market. Kendati demikian, L’Oréal sendiri memiliki tiga merek profesional yang dipasarkan di Indonesia, yaitu Matrix untuk pasar kelas menengah bawah, L’Oréal Professionnel untuk kelas menengah atas, serta Kérastase untuk kelas premium.
Masing-masing merek itu menguasai distribusi salon yang berbeda-beda. Dari total 115.000 jumlah salon yang terdaftar di Indonesia, Matrix mengantongi jumlah salon terbesar, sekitar 5.000 salon. Sedangkan L’Oreal Professionnel 2.400 salon, dan Kérastase 140-an salon.
Divisi profesional L’Oréal memang tak jor-joran dalam menyebar konten promosi berformat tvc atau iklan luar ruang dalam menggairahkan pasar salon. Akan tetapi, merek ini mengaku melakukan investasi besar pada bidang edukasi.
Seperti yang diakui Queentia, L’Oréal Professionnel sering mengadakan pelatihan kepada para hairdresser Indonesia untuk memaksimalkan keterampilannya dalam teknik menyalon, baik itu cutting, blow, creambath, colouring, smoothing, hair light, hair toning, rebonding, pengeritingan, hingga aspek lain di luar rambut seperti pedicure, medicure. massage, facial, dan lainnya.
Sebagai contoh, L’Oréal Professionnel sempat mengadakan Color Certification Program, sebuah pelatihan teknis yang bertujuan mencetak colorist andal dan bersertifikasi internasional.
“Di Indonesia, banyak hairdresser tak memiliki sertifikasi profesi. Kami menciptakan L’Oréal Academy untuk memberikan kesempatan tersebut (mengambil kelas sertifikasi),” papar Queentia.
Selain dari sisi teknik, L’Oréal juga membekali hairdresser cara mengelola binis salon, mulai dari aspek marketing hingga finansial melalui L’Oréal Business School. “Kami berinvestasi besar pada edukasi hairdresser. Sebab, kami percaya, jika bisnis kami ingin tumbuh, salon juga harus tumbuh,” pungkasnya.
Hair Colour is The New Make Up
Selain melakukan kegiatan edukasi, L’Oréal Professionnel juga aktif melalukan promosi di media digital. Kali ini, merek tersebut menggaungkan kampanye Hair Colour is The New Make Up. Kampanye ini bertujuan mendorong konsumen agar berani mengekspresikan diri melalui warna-warni rambut.
“Kampanye pemasaran kami sudah hampir 100% digital. Sedikit sekali yang ATL (Above The Line). Sebab, tren-tren warna rambut berkembang di dunia digital,” alasannya.
Kampanye di atas sebenarnya mempromosikan produk terbaru dari L’Oréal Professionnel, yaitu Smartbond, sebuah rangkaian produk yang membantu konsumen mendapatkan hasil pewarnaan yang lebih baik.
Produk ini diklaim mampu menghilangkan risiko rambut rusak, seperti rambut kering, bercabang, hingga rontok pasca melakukan servis kimia di salon.
Smartbond terdiri dari tiga produk, yakni Additive dan Pre-Shampoo yang tersedia melalui servis pewarnaan dan tekstur di salon, serta Conditioner yang digunakan di rumah sekali seminggu setelah melakukan servis kimia di salon.
Produk ‘tambahan’ ini memang diharapkan dapat meningkatkan basket size konsumen selama di salon, khususnya bagi mereka yang sering melakukan servis kimia. Adapun rata-rata biaya servis pewarnaan rambut di salon mulai dari Rp 200.000-an hingga jutaan rupiah, tergantung tingkat kerumitan, teknik, serta panjang-pendek rambut.
“Hanya dengan menambah Rp 50.000 saja per treatment, konsumen akan memperoleh manfaat lebih dari Smartbond. Mereka tak perlu trauma lagi akan rambut rusak,” jelas perempuan yang telah bekerja selama 14 tahun di perusahaan asal Paris ini.
Selain pewarnaan rambut, produk ini juga dapat digunakan untuk berbagai servis kimia lain yang ada di salon, termasuk pengeritingan dan pelurusan. Hanya saja, Smartbond tak tersedia di 2000an salon yang menjadi mitra L’Oréal Professionnel, melainkan hanya terdistribusi di 700an salon.
“Kami pilih distribusi produk ini di salon-salon yang memang setiap harinya ada aktivitas servis kimia,” katanya.
Queentia yakin terobosan tersebut pada akhirnya dapat memicu peningkatan servis pewarnaan rambut di salon dan tentu saja membantu mendongkrak bisnis salon. Apalagi, berdasarkan pantauannya, 50% konsumen salon di Indonesia berusia di bawah 35 tahun. Yang berarti bahwa kelompok usia ini cenderung mau bereksperimen dalam berpenampilan, termasuk mewarnai rambut.
“Sedangkan, konsumen usia 35 tahun ke atas, mereka datang salon biasanya untuk menutupi uban dengan warna kalem. Kini, mereka juga mulai terpengaruh rekannya yang muda untuk mencoba menggunakan warna-warna rambut yang lebih colourful,” tutup perempuan lulusan Teknik Sipil Universitas Indonesia ini.