Hipertensi adalah penyakit tidak menular yang mengancam nyawa seseorang. Namun, kesadaran masyarakat akan penyakit tersebut masih rendah. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 menemukan bahwa 25,8% masyarakat Indonesia menderita hipertensi. Hanya 1/3 yang terdiagnosa, dan hanya 0,7% kasus yang dikontrol dengan obat.
Menurut worldlifeexpectancy.com, stroke merupakan pembunuh nomor satu di Indonesia, dengan angka kematian 19.79% dari total kematian dan tingkat kematian hingga 186,29 per 100.000 orang. Hal ini menempatkan Indonesia pada posisi nomor satu di dunia.
Indonesia Stroke Registry, sebuah studi berbasis rumah sakit yang dilakukan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) bekerja sama dengan Badan Penelitian & Pengembangan Kementerian Kesehatan RI menemukan bahwa hipertensi adalah faktor resiko stroke terbesar pada 77%.
Dokter spesialis saraf Mursyid Bustami menjelaskan bahwa tekanan darah yang tinggi akan merusak dinding arteri di seluruh tubuh. Pembuluh darah yang rusak akibat hipertensi akan rentan tersumbat dan juga mudah pecah.
Sehingga penderita penyakit tekanan darah tinggi akan memiliki risiko yang tinggi terserang stroke baik stroke penyumbatan pembuluh darah (iskemik) atau stroke pecahnya pembuluh darah.
“Karenanya, sangat penting untuk mengendalikan tekanan darah untuk menurunkan resiko stroke,” kata Direktur Utama Rumah Sakit Pusat Otak Nasional ini.
Ia melanjutkan, pada umumnya hipertensi tidak memiliki gejala yang khas, sehingga banyak orang tidak mengetahui bahwa dia telah menderita hipertensi. Di lain pihak, kesadaran masyarakat untuk memeriksakan tekanan darah secara rutin masih sangat rendah.
“Sebagian besar masyarakat baru mengetahui bahwa dia menderita hipertensi setelah terkena penyaki itu,” terang dia.
Mursyid mengimbau pentingnya mengurangi garam dan mengonsumsi lebih banyak buah dan sayuran. Kita juga sebaiknya menjaga berat badan pada angka ideal dan berolahraga teratur.
Di sisi lain, Presiden Direktur Philips Indonesia Suryo Suwignjo mengatakan, masyarakat pada umumnya tidak menganggap penting tindakan pencegahan, terutama deteksi dini. Mereka akan pergi ke fasilitas kesehatan ketika sudah jatuh sakit.
“Pola pikir seperti ini harus berubah. Kesadaran untuk hidup sehat memang sudah cukup baik, tetapi tidak demikian dengan deteksi dini,” katanya berkomentar..
Komentar manufaktur elektronik ini cukup berkaitan dengan apa yang mereka tawarkan kepada konsumen. Perusahaan asal Belanda ini memiliki aplikasi khusus untuk pasien hipertensi bernama Philips eCareCompanion, walaupun saat ini belum tersedia di Indonesia.
Ini adalah aplikasi telemedis yang dapat diakses pasien menggunakan tablet dan digunakan untuk membagikan informasi kesehatan dengan tim medis yang merawatnya.
Cara kerjanya, pasien memasukkan informasi data kesehatan dan mengirimkannya ke tim perawat untuk ditinjau. Pasien juga bisa menjawab pertanyaan survei, membalas email, menerima pengingat tentang rencana perawatan mereka, dan melakukan video call dengan penyedia layanan kesehatan mereka.
Menurut Suryo, Indonesia memang belum semaju Amerika Serikat atau pun negara-negara Eropa “Akan tetapi negara ini pelan-pelan mengarah kepada solusi telemedis dan software development untuk deteksi penyekit dini,” pungkasnya.
Editor: Sigit Kurniawan